Jangan buka kartu kredit pada bank yang sama tempat kita menabung
Jangan buka kartu kredit terbitan bank yang sama tempat kita menabung
Isa Alamsyah

Ini pengalaman saya beberapa tahun lalu.
Ketika membuka mutasi rekening saya kaget karena tiba-tiba uang saya hilang 7 juta dari rekening yang baru dibuka beberapa bulan sebelumnya.
Setelah diusut ternyata uang saya diambil bank tersebut karena ada kartu kredit di bank yang sama dan bermasalah.
Sebelumnya di rekening yang lama, uang saya juga pernah diambil 2 juta, 3 juta, 4 juta, tanpa jelas statusnya.
Bayangkan saja, dari limit 9 jutaan, dan jarang dipakai tiba tiba hutang jadi 16 jutaan, dan semua berawal karena saya tidak bisa mentransfer uang pembayaran ke kartu kredit bersangkutan.
Karena itu saya mengajukan komplain dan membekukan rekening lama agar tidak di auto debet dan membuka rekening baru.
Awalnya baik-baik saja tetapi tiba-tiba uang di account yang baru pun dikuras.
Dulu saya kira di rekening lama uang diambil karena auto debet tapi ternyata memang peraturannya kalau punya kartu kredit di bank yang sama dengan tempat kita menabung, maka ketika ada masalah dengan kartu kredit maka dengan leluasa bank seenaknya bisa mengambil uang Anda kapan saja sampai limit maksimal hutang terbayar.
Sekalipun tidak didaftarkan, bank akan mencari kesamaan data (nama, tanggal lahir, nama gadis ibu kandung).
Rupanya itu bukan pengalaman saya saja.
Teman saya, sebut saja "E" penah mengalami kesialan yang sama di bank yang sama.
Sebut saja bank swasta besar berinisial "B". Saya tidak perlu menyebut inisial lengkap bukan?
Teman saya "E" bercerita, saat itu ada temannya yang menitip transfer melalui rekeningnya.
Tiba-tiba uang temannya diambil bank karena dia (E) bermasalah dengan kartu kredit.
Akhirnya ia terpaksa mengganti uang temannya.
Padahal saat itu juga dalam proses negosiasi pembayaran.
Hikmah dari peristiwa ini membuat saya menyimpulkan beberapa hal.
Pertama kalau tidak butuh-butuh amat jangan punya kartu kredit.
Kedua, kalaupun perlu (untuk pembelian online, tiket online, transaksi luar negeri, dsb), pastikan punya satu kartu kredit saja (hemat iuran tahunan) mudah mengatur keuangan.
Ketiga, jangan buka kartu kredit di bank yang kamu punya tabungan di sana.
Sekali saja ada masalah, Anda hilang kendali atas tabungan Anda. Kalau kita punya masalah dengan kartu kredit tanpa ada account di bank yang sama, bargain posisi kita untuk negosiasi lebih kuat, kalau kita punya kartu kredit dan account tabungan dengan, nama sama, tanggal lahir sama, nama ibu gadis ibu kandung sama, di bank yang sama, maka tanpa konfirmasi bank akan leluasa mengambil uang Anda langsung untuk pelunasan kartu kredit Anda.
Parentivasi: Jangan cuma lihat, maunya beli!
Parentivasi: Jangan cuma lihat, maunya beli1
Isa Alamsyah

Seluruh pengunjung toko dikagetkan dengan tangisan seorang anak perempuan usia 7 tahunan yang suaranya benar benar menguasai seisi toko.
Untuk menggambarkan kerasnya suara tangisan anak tersebut, bisa digambarkan, kalau saya bicara dengan orang di depan, harus berteriak karena kalau bicara biasa, akan tertutup oleh suara sang anak.
Kencang sekali, sampai seluruh pengunjung toko yang cukup besar bisa mendengar suara tangisannya.

Awalnya sederhana.
Anak tersebut masuk bersama ibu, ayah dan neneknya lihat-lihat tas di toko mainan.
Ibunya bilang cuma lihat-lihat, tapi sang anak tegas mengatakan
"Gak mau lihat-lihat, maunya beli!"
karena ibunya tak setuju beli, sang anak nangis, teriak sekuat-kuatnya .

Apa yang sebenarnya dilakukan anak?
Yang dilakukan anak adalah tangisan bargain (posisi tawar) atau lebih tepatnya tangisan pressure (memberi tekanan)
Anak tersebut mengira semakin kuat tangisan semakin orang tua akan malu.
Atau setidaknya orang tua akan terganggu dan ingin buru-buru meredakan suaranya tangisan dengan membelikan mainan tersebut.
Itu bukan jenis tangisan sakit, misalnya jatuh atau terluka dan bukan tangisan kehilangan.

Apa yang harus dilakukan orang tua?
Ketika anak melakukan tangisan pressure maka orang tua sedapat mungkin dengan bijak tidak memenuhinya. Karena itu bisa jadi bom waktu di masa depan.
Bisa dengan kalimat, apa adanya:
"Mainan itu mahal, kita gak punya duit..."
"Begini nak, kamu menangis sekeras apapun kita tetap tidak bisa beli mainan tersebut karena kita tidak punya anggaran untuk itu!"
Bisa juga dengan kalimat yang mengacu pada kebijakan orang tua,
"Sebenarnya kita mau pertimbangkan, tapi karena kamu memaksa dengan menangis, kita tunda dulu. Ayah bunda hanya mau membelikan sesuatu karena itu penting, atau kamu suka dan kita setuju, tapi bukan kerana kita dipaksa dengan tangisan!"
Atau dengan kaliamat apa saja yang cocok untuk Anda.

Tapi ada satu hal yang perlu diingat,
kebiasaan anak di atas bukan muncul ketika ia umur 6 tahun.
Ada kemungkinan bibit-bibit ini tumbuh ketika usia 2 tahunan atau ketika anak mulai mengerti komunikasi.
Jadi harus dibentuk sejak dini.

Ada juga hal lain yang perlu diperhatikan.
Pada beberapa anak, terlalu lama menangis bisa menyebabkan mereka jatuh sakit entah radang tenggorokan, gangguan pernafasan, dll.
Jadi harus diatasi dengan cepat atau dihindari pemicu tangisannya.

Kalau saja kita memenuhi tangisan presure, bisa jadi ini akan jadi bargain yang terus menerus digunakan anak.
Kecil mungkin dengan menangis.
Agak besar jadi pakai pressure ngambek.
Kalau tambah besar dengan metode minggat, nginep, dll.
So perhatikan perkembangan anak, sejak dini.

But never too late to be better. No Excuse!


Mental gratisan
Mental gratisan
Isa Alamsyah

Saya bertemu seorang ibu rumah tangga di Depok yang sedang membuka tabungan di sebuah bank.
Padahal beberapa hari lalu ia baru saja buka tabungan di bank yang sama hanya beda cabang.
Ternyata ia mendaftar lagi karena tabungan sebelumnya bertempat di cabang yang jauh dari rumah.
Lalu kenapa juga ibu itu membuka tabungan lama kalau tempatnya jauh?
Ternyata tabungan sebelumnya dibuka ketika bank tersebut membuka stan di sebuah mal di Jakarta.
Karena iming-iming mendapat minyak goreng gratis, ibu tersebut memutuskan untuk membuka rekening tabungan.
Yang tidak disadari ibu tersebut, ternyata bank yang membuka di stan tersebut adalah cabang yang berkedudukan di Kuningan Jakarta selatan atau 2 jam perjalanan dari Depok.
Ibu itu mulai kerepotan karena ternyata banyak urusan transaksi yang harus diurus langsung ke cabang pembuka.
Karena repot dan jauh akhirnya si ibu terpaksa membuka rekening lagi di Bank yang sama di dekat rumahnya.
Sedangkan di bank yang lama ada uang yang harus diendapkan sebesar Rp 50.000, kalau mau ditutup harus pergi ke Jakarta dan makan waktu dan ongkos yang lumayan banyak.
Hanya karena mengejar minyak gorang gratis, ibu tersebut sudah kehabisan uang dan waktu yang nilainya puluhan kali lebih mahal dari sebuah minyak goreng gratis.

Apa yang sebenarnya terjadi?
Ini terjadi karena "mental gratisan".
Mental gratisana adalah mental yang asal ada barang gratis diambil.

Satu hal yang perlu diingat dalam duania usaha.
"TIDAK ADA YANG NAMANYA GRATIS"
Selalu saja ada timbal balik yang diterima perusahaan sekalipun berembel-embel gratis.

Kartu kredit menawarkan gratis iuran tahunan pada tahun pertama.
Padahal bagi perusahaan penerbit kartu kredit, yang diincar adalah iuran tahunan pada tahun kedua, ketiga, dst, dan tersedotnya dana kita untuk berbelanja melalui kartu tersebut.

Di mall ada sales yang menjajakan souvenir gratis.
Begitu kita ambil, kita diminta untuk mengisi formulir tanda terima dan ujung-ujungnya dipromosikan produk. Sebenarnya barang gratis tersebut hanya untuk memancing kita untuk ditawarkan produk mereka.
kalau kita tidak beli, souvenir dianggap sebagai pengganti waktu kita.
Dan jika kita terjebak, maka kita bisa jadi terbuai untuk membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan.

Lalu bagaimana bersikap?
Jangan cepat terbuai dengan iming-iming gratis.
Kalaupun gratis pastikan kita memang membutuhkannya.
Kalau gratis tapi tidak butuh, ngapain juga diambil?
Perhatikan konsekwensinya.
Kalau gratis tapi harus melakukan ini dan itu, sama saja bukan gratis.

Pernahkah Anda mengalaminya?
Awalnya merasa dapat gratis, tapi ternyata membayar lebih banyak?
Kok kamu tahu?

Kok kamu tahu?

Kok Kamu Tahu?
Isa Alamsyah




Seorang siswa senior ngobrol dengan siswa baru di kantin sekolah.
Ketika asyik ngobrol tiba-tiba lewat seorang guru kimia yang di kenal killer.
"Itu guru kimia, killer banget deh!" kata sang senior.
"Oh, memang!" kata si murid baru.
"Dia ngajarnya gak enak, tapi kalau kasih soal susah. Kesannya muridnya yang bodoh, padahal dia yang gak becus ngajar!" lanjut si senior.
"Oh, betul!" cetus si murid baru merespon.
"Kalau ada guru terburuk abad ini, pasti dia masuk sebagai kandidat yang kuat." kata si senior tersebut menambahkan.
"Oh, bisa jadi!" jawab si anak baru.
Melihat cara si anak baru merespon, si senior merasa ada yang aneh.
"Kamu anak baru, kamu kok tahu?
Kok jawabnya memang, betul, bisa jadi, kayak udah lama aja sekolah di sini.
Emang kamu kenal ama si killer itu?" tanya si senior penasaran.
"Ya, lah. Itu kan ibu saya. Makanya aku pindah kemari!" jawab si anak baru santai.
Wak waw.... (bacanya seperti bunyi musik film kartun kalau suasana menegangkan...)
Mendengar itu langsung si senior membayar makanan si anak baru, dan berjanji akan mentraktirnya terus di kantin seolah, asalkan si anak baru berjanji tidak melaporkan apa yang dikatakannya tentang ibunya.

Humor dan hikmah
Salah satu kunci komunikasi adalah tahu apa yang di katakan, bisa membedakan mana informasi yang bisa disampaikan, dan sadar dengan siapa bicara, serta melihat tempat berbicara.
Jika kita berkomunikasi sembarangan, tanpa ilmu, maka bisa jadi kita jadi korbannya.

Pada kasus ini, si senior berbicara lepas tanpa kontrol pada orang yang tidak dikenal baik,
dan dia jadi korbannya.
Jadi perhatikan waktu, tempat, lawan bicara, tema, dll, ketika berkomunikasi.

Contoh sederhana.
Anda naik taksi, lalu menelepon ke rumah.
"Aku pulang di rumah ada orang gak? Ooh kuncinya di mana? Oh dibawah karpet. OK."
Tanpa sadar kita membuka rahasia tempat biasa menyembunyikan kunci di depan supir taksi yang tidak kita kenal.
Kalau kebetulan supirnya jahat, bisa jadi informasi tersebut dipakai untuk kejahatan.

Saya pernah mendengar kisah seorang aktivis yang sangat vokal mengkritisi pemerintah di masa orde baru.
Kalau sedang ngobrol politik, kritiknya sangat pedas, dan idenya sangat berani.
Dia bicara di mana saja, dan salah satu tempat favoritnya berdiskusi adalah di mobil.
Suatu hari dia diciduk, dan yang melaporkan ternyata adalah supirnya.

Semoga saja catatan ini memberi masukan pada kita untuk lebih cermat dalam berkomunikasi.

Tetap semangat! No Excuse!

========

Dapatkan beragam humor dengan penuh hikmah yang memotivasi di buku Humortivasi.
Saat ini buku Humortivasi tidak lagi dijual di toko buku dan hanya dijual online di
www.facebook.com/groups/tokoasmanadia
atau bisa lewat WA (hub salah satu saja)
Richie +62 838-7468-6083,
Wiro +62 852-1868-3858, Kamal +62 858-9115-8876

Tips Leadership: Libatkan Dalam Proses
Tips Leadership: Libatkan Dalam Proses
Isa Alamsyah

Salah satu kunci kepemimpinan adalah kaderisasi.
Kunci lain adalah keterikatan emosional atau membangun rasa memiliki.
Kunci berikutnya adalah penghargaan.

Nah bagaimana agar ketiga kunci tersebut bersatu dalam leadership Anda.
Jawabannya adalah: libatkan dalam proses.
Jika Anda melibatkan staf, anak buah, murid, anak, dalam proses sebuah keputusan atau produk maka mereka akan mempunyai rasa memiliki, merasa dihargai, dan tanpa sadar sedang terdidik untuk kaderisasi.

Sebaliknya kalau kita hanya memberi perintah, mendikte staf, anak buah, murid, anak didik atau anak, maka yang terjadi adalah menjadikan mesin manusia.

Ada contoh sederhana kenapa dalam banyak hal orang lebih suka dilibatkan ketimbang cuma menerima perintah atau hasil.

Ambil dua mangkok bubur ayam.
Satu biarkan tertata sebagaimana penyajian penjual bubur ayam.
Satu lagi aduk merata sebagaimana kebanyakan orang mau makan bubur ayam.
Lalu sediakan pada dua teman Anda.
Teman yang menerima bubur ayam yang tersaji biasa akan dengan senang hati menerima,
dan kemudian mengaduknya dan memakannya.
Sedangkan teman yang melihat bubur ayam dalam keadaan sudah teraduk mungkin bahkan tidak mau mencicipinya.
Ia akan geli melihat sendok yang sudah dilumuri bubur atau kecep yang berantakan di sekitar mangkok. Secara psikologis ia menerima bubur makan bekas orang.
Padahal kedua bubur tersebut sama-sama belum ada yang makan.
Kenapa yang kedua jijik?
Karena ia tidak terlibat prosesnya.
Akan lain cerita kalau kita membantunya mengadukkan bubur di depan matanya.
Lain cerita lagi kalau kita sendiri yang mengaduknya.
Jadi kadang dua hal sama menjadi berbeda ditanggapinya hanya karena yang satu terlibat prosesnya sedang yang lain tidak.

Kadang masalah demo buruh, atau protes terjadi hanya karena satu pihak tidak dilibatkan dalam proses keputusan.
Memang tidak seluruh keputusan harus melibatkan semua, tetapi kadang membuat orang merasa itu adalah pilihannya, akan berdampak lebih baik.

No Excuse! Karena Anda bisa!


Belajar Problem Solving dari masalah Rayap
Belajar Problem Solving dari masalah Rayap
Isa Alamsyah

"Pak, di lemari buku tengah ada rayap-nya!"
Setidaknya itu informasi singkat yang saya terima dari salah satu staf Asma Nadia Publishing, ketika kita sedang beres-beres kantor.
"OK, nanti saya check. Kamu lihat ada rayap-nya atau cuma sarangnya?" saya coba telusuri sejauh masalahnya lebih jauh.
"Lihat Pak, ada rayapnya!"
SOS...SOS...SOS
Ketika saya dengar informasi ada rayapnya, saya langsung berpikir masalah ini akan besar.
Ya, karena kerabat saya yang berbisnis di bidang furnitur pernah bilang, kalau perkakas kayu ada rayapnya sebaiknya semua bagian dibuang atau akan merambat kemana-mana.
Saat itu juga saya langsung memutuskan untuk melihat.
Setelah saya lihat sekilas, memang terlihat ada gundukan kecil sarang rayap di lemari tengah.
Lalu saya mulai tarik buku-buku yang berjajar di lemari tengah.
Ternyata bagian belakang sudah geroak dimakan rayap dan buku tersebut sebagian besar sudah jadi sarang rayap.
Lalu saya lihat buku di atasnya ternyata bernasib sama.
Saya putuskan lemari buku tengah dibuang dan dibakar termasuk-buku-bukunya.
Lalu saya lihat lemari disebelah kanannya lemari tengah ternyata juga sudah hancur dimakan rayap, padahal dari depan sama sekali tidak kelihatan ada sarang rayap.
Lalu saya lihat lemari sebelah kirinya, ternyata juga jadi korban.
Hasil serangan rayap tersebut 3 lemari buku dibuang dan dibakar, ratusan buku juga terpaksa dibuang dan dibakar.
Padahal lemari tersebut baru 3 bulan lalu dibereskan.

Ternyata masalah rayap yang kelihatan kecil, hanya beberapa sentimeter gundukan yang terlihat, hanya sedikit gejala dari masalah besar yang tersembunyi.
Dari kejadian ini saya pun belajar tentang kehidupan.

Sebenarnya sebagian besar masalah yang kita hadapi hanya sebagian kecil dari sebuah masalah yang lebih besar.
Masalah di depan mata mungkin hanya gejala, bukan penyakitnya.
Kalau kita tidak menemukan masalah besarnya (penyakitnya) maka kita akan terjebak masalah tersebut selama-lamanya.
Masalah yang kita lihat di depan mata mungkin lebih besar dari yang kita kira.

Dalam kehidupan sosial misalnya.
Kita bertemu dengan pejabat yang korup.
Secara sederhana kelihatannya, korupsi terjadi karena gaji kecil, sehingga jika gaji dinaikkan tidak ada korupsi. Ternyata pejabat bergaji besar juga terlibat korupsi.
Artinya, korupsi adalah gejala yang sudah merambat ke mana-mana.
Masalah utamanya bukan sekedar gaji kecil, tapi juga penegakkan hukum, keadilan sosial, keimanan, moral, toleransi, sportivitas, dan banyak hal terkait dengan hal tersebut.
Jadi untuk menyembuhkannya harus ditangani menyeluruh.

Dalam parenting misalnya.
Ada anak yang nilai pelajarannya buruk.
Orangtuanya sudah mengkursuskan anak tersebut dan privat tapi tidak membaik.
Ternyata setelah diusut masalahnya anak tersebut sedang terganggu konsentrasi-nya karena sering mendengar keributan orang tua.
Atau ternyata di sekolah ia selalu menjadi korban bully (pelecehan senior).
Jadi masalahanya tidak sekedar anak yang malas tapi ada agenda lebih besar yang dihadapinya.
Kalau kita salah deteksi masalah tidak selesai.

Dalam bisnis juga demikian.
Kita bisa kehilangan klien hanya karena masalah kecil.
Ada kisah perusahaan besar kehilangan klien raksasa hanya karena mempunyai operator telepon yang kasar.
Awalnya perusahaan tersebut mengira sang operator hanya perlu sedikit latihan, perusahaan itu tidak sadar bahwa operator adalah ujung tombak perusahaannya hingga akhirnya kehilangan klien besar.

Mendeteksi masalah dengan tepat, melihat masalah sebagai bagian dari masalah yang lebih besar adalah kunci untuk menyelesaikan masalah secara integral.
Semoga saja kita tidak terbuai melihat ketika masalah kecil, karena sebagian masalah kecil adalah tampilan luar dari masalah besar yang tersembunyi.
Pesawat Made in China
Pesawat Made in China
Isa Alamsyah

Apa alasan Anda membeli produk Cina?
Murah! Ya, itu jawaban yang paling banyak kita temukan.
Bagaimana dengan kualitas?
Sekalipun mulai banyak produk Cina yang berkualitas,
tapi bagaimanapun juga, harga rendah adalah kekuatan utamanya.
Jadi asalkan harga rendah, kualitas kurang konsumen bisa memaklumi.

Kalau kita beli HP merk Cina buatan resikonya kresek-kresek atau hang, tapi harganya bisa setengah harga bahkan bisa seperempat harga HP merk umum non merk Cina. Sekalipun merk umum dibuat di Cina juga tapi dengan standar perusahaan negara maju, kualitas HP-nya beda.

Kalau kita beli VCD resikonya macet.
Kalau beli radio, resikonya sember.
Kata orang harga gak bisa dibohongin.
Setengah harga, jangan harap kualitas sama.

Tapi ketika beli mobil Cina orang mulai berpikir panjang,.
Karena kita bicara uang ratusan juta, ratusan kali lipat dari harga HP Cina.
Kalau mengecewakan ruginya banyak.
Untuk beli mobil Cina maka pertimbangannya harus sangat matang.
Begitupun resiko paling sial ya mogok dan tidak nyaman.

Akan tetapi, kalau bicara pesawat Cina,
tampaknya pertimbangan matang saja tidak cukup, tapi harus beribu-ribu kali lipat lebih matang dari sekedar beli HP Cina, DVD, atau mobil Cina.
Kenapa?
Karena kita tidak lagi bicara suara kresek-kresek, tidak lagi bicara komputer hang, tidak lagi bicara mesin mogok.
Ketika bicara pesawat maka kita bicara nyawa, kita bicara miliaran rupiah.
Satu kesalahan saja, resikonya puluhan nyawa melayang dan aset miliaran meluap.

Karena itu wajar,
ketika mendengar berita pesawat MA-60 merpati jatuh di Papua,
yang menjadi sorotan media adalah pesawat itu made in China.
Berita pesawat jatuh memang banyak.
Berita pesawat kecelakaan di Papua juga lebih sering kita dengar, karena medannya yang berat.
Tapi tetap saja media mengangkat isu pesawat itu made in Cina, terlepas bagaimana nanti hasil KNKT.
Seolah media ingin bertanya; Apakah sudah dipertimbangkan dengan matang pembelian pesawat Cina?

Bagaimana pertimbangan kualitasnya?
Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla mengungkap, ketika ia menjabat, ia pernah menolak pembelian pesawat itu karena belum mendapat sertifikasi FAA (Federasi Keselamatan Penerbangan).
Pesawat MA-60 mengantongi lisensi Civil Aviation Adminitration of China pada Juni 2000.
Artinya ada rentang 11 tahun lebih pesawat ini tidak mendapat sertifikasi FAA.
Memang FAA tidak wajib kecuali jika pesawat ingin beroperasi di Amerika atau terbang antar negara, tapi terlepas dipasarkan ke Amerika atau tidak, sertifikasi FAA sangat membantu untuk menujukkan kualitas pesawat.
CN 235 produksi Dirgantara Indonesia saja mengantongi FAA, sekalipun tidak dijual di Amerika, tapi penting untuk menunjukkan kualitas produk(www.tempointeraktif.com).
Kalau memang yakin pesawat bagus kenapa tidak didaftarkan saja.
Karena itu CN 235 dipercaya dan dipakai di negara kaya timur tengah dan bahkan pesawat kepresidenan di Korea Selatan.
Sedangkan pesawat MA-60 buatan Cina Zambia. Fiji , Nepal dan Laos dan biasanya dijual biasanya dibeli sebagai imbal balik dagang antara pemerintah Cina dengan negara pembeli.
(www.tempointeraktif.com)

Ada catatan penting tentang kualitas.
Republika Senin 9 Mei 2011 mengungkap informasi Yurlis H, direktur kelaikan udara Kemenhub yang menyatakan bahwa pesawat produksi 2006 itu pernah ada crack (retak) tapi sudah diperbaiki.

Bagaimana pertimbangan harga?
Sebagian besar kita tentu saja mengira alasan kita membeli pesawat dari Cina karena harganya murah. Apakah betul demikian?
Mengenai harga, Yurlis H, direktur kelaikan udara Kemenhub, sebagaimana dikutip dari Republika Senin 9 Mei 2011, menyatakan:
"Harga pesawat MA-60 sebetulnya tidak beda jauh dibanding buatan AS atau Eropa. Tapi, ya memang lebih murah sedikit. Sebetulnya baling-baling pesawat MA-60 dibuatnya di AS, hanya bagian kerangkanya yang dibuat di pabrik Cina".

Dalam kolom front page Republika Senin 9 Mei 2011 menulis:
Pada November 2008 Merpati protes atas harga yang ditawarkan Cina sebesar 15 juta dollar AS (atau Rp 135 miliar). Harga pesawat sejenis di pasar 11 juta dolar AS.
Cina mengancam hentikan pendanaan proyek listrik 10 ribu megawatt tahap pertama jika pembelian batal.
Pemerintah RI kemudian menego ulang dengan tim perunding Memperindag Mari Eka Pangestu.
Sekarang bagaimana pendapat Anda?
Parenting -Home Safety: Menjaga sikap untuk keselamatan anak
Parenting -Home Safety: Menjaga sikap untuk keselamatan anak
Isa Alamsyah

Sebuah berita pembunuhan sadis di Binjai membuat saya merasa harus menulis artikel ini.
Untuk yang belum tahu, mungkin saya akan sedikit mengulas kembali.

Baru-baru ini marak diberitakan tentang 4 korban pembunuhan dalam sebuah rumah di Binjai.
Korbannya adalah Engky alias Atu (65 tahun) meninggal di kamar belakang, serta menantunya Ceny alias Ain (27) serta dua anaknya bernama Kefin (5) dan Keren (3), meninggal di ruang depan. Mereka ditemukan tewas bersimbah darah.
Kematian mereka pun diketahui setelah beberapa hari terbunuh karena ada tetangga yang curiga mereka tidak pernah kelihatan keluar rumah, sehingga jasad ditemukan dalam keadaan mulai membusuk.

Awalnya polisi menduga ini adalah balas dendam (karena kejam) atau tindakan dari orang yang mereka kenal karena tidak ditemukan adanya buka paksa pintu.
Akan tetapi setelah pembunuhnya tertangkap, ternyata motif pembunuhan sangatlah sederhana. Panik.

Ya, setelah diusut ternyata pembunuhan terjadi karena ada pencuri yang kepergok ketika berniat melakukan aksinya. Kabarnya, sang ibu berteriak maling. Lalu sang pencuri panik (sepertinya pintu masih dalam keadaan tidak terkunci) lalu masuk dan membunuh ibu dan kedua anaknya yang sedang berada di ruang tamu untuk menghilangkan saksi.
Lalu karena ada kakek di ruang belakang ia juga dibunuh untuk memastikan tidak ada saksi.
Setelah itu ia mencuri.
Tahukah Anda apa yang dicuri?
Dua pompa air dan telepon genggam.
Bayangkan 4 nyawa melayang hanya untuk barang curian yang nilainya tidak seberapa.

Lalu apa yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini.
Langkah menghindari kriminalistas terutama terhadap anak-anak.

Pertama, di luar sana ada yang namanya penjahat.
Jadi jangan pernah merasa bahwa kita pasti aman dari kejahatan, kemungkinan selalu ada.
Jadi kita harus meminimalisir segala kemungkinannya.

Kedua, yang namanya tindakan sadis tidak perlu dilakukan oleh penjahat kaliber.
Remaja yang panik, mantan karyawan yang kecewa, mantan pacar yang merasa dipermalukan, sahabat yang dikecewakan, bisa tiba-tiba bertindak sadis, terutama ketika panik atau sangat sakit hati.
Peristiwa binjai terjadi karena panik, dan justru biasanya penjahat amatir yang panikan.
Jadi berhati-hatilah jika tindakan kita berdampak menyakiti hati orang.
Hanya butuh beberapa detik untuk mengubah orang baik menjadi sadis.
Karena hati mudah berbalik.

Ketiga, anak-anak atau seseorang yang sangat bernilai bagi Anda, bagi orang lain apalagi bagi penjahat bisa tidak ada nilainya. Karena itu harus Anda yang menjaganya sepenuh hati, sebaik mungkin.
Anak yang sangat Anda cintai dengan segala apa yang Anda miliki, mungkin bagi penjahat hanya bernilai sebuah handphone atau beberapa ratus ribu.
Pada peristiwa di Binjai, sang ayah tidak di tempat karena sedang mencari nafkah membanting tulang jauh-jauh ke Kamboja untuk anak dan istrinya, tetapi dengan darah dingin keluarganya dibunuh penjahat hanya untuk pompa air dan handphone.
Sering kita dengar peristiwa anak kaya raya diculik dan dijual murah dalam human trafficking hanya karena penculik tidak mau beresiko meminta uang tebusan sekalipun mahal dan memilih menjual murah ke pedagang anak.

Keempat, kadang tanpa sadar orang tua, tanpa sadar, justru menjadi pemicu peristiwa yang mengakibatkan anak menjadi korban.
Akan saya ungkap satu contoh yang juga memilukan dari berita yang saya dengar beberapa tahun lalu.
Ada anak yang mengalami kerusakan otak parah akibat dipukuli preman. Usianya baru 7 tahun. Akibat pukulan preman tersebut anak itu cacat mental seumur hidup.
Tahukah kenapa anak itu dipukuli preman?
Ternyata peristiwa itu dipicu karena ayah dari anak tersebut pernah menegur sang preman karena mabuk di dalam mesjid.
Mungkin karena teguran itu kasar atau karena memang premannya brengsek, tapi tetap saja ini tidak mengubah fakta bahwa anak tersebut menjadi cacat akibat peneguran tersebut.
Sekalipun preman itu dihukum, itu tidak mengembalikan kesehatan anak.
Jadi sebagai orang tua kita harus berpikir berulang kali ketika bertindak.
Apakah ini akan membahayakan keselamatan anak atau aman-aman saja.

Saya pernah naik angkot bersama Putri Salsa yang waktu itu baru usia 6 tahunan.
Sang supir ngebut, sembrono dan ngerem mendadak.
Akibatnya satu ibu yang duduk di dekat pintu terlempar keluar. Untung ibu itu baik-baik saja.
Si supir bukannya minta maaf malah memarahi sang ibu yang dianggap tidak siaga.
"Gimana sih naik mobil, makanya pegangan!" dan diikuti kata kasar lainnya.
Saya bilang ke Salsa:
"Caca (panggilan Salsa waktu kecil), kalau ayah tidak lagi sama Caca, mungkin ini supir udah ayah tonjok!"
Salsa bertanya; "Kenapa?"
"Pertama dia ugal-ugalan, dan bukannya minta maaf tapi malah sumpah serapah ke ibu yang jatuh keluar dari mobil"
Lalu Salsa bertanya lagi; "Kenapa kalau ada Caca, ayah gak pukul aja!:
Saya menjawab;
"Kalau ayah sendiri, ayah peringati, kalau dia gak tahu diri mungkin ayah pukul, kalau dia ajak berkelahi ayah hadapi. Tapi kalau nanti banyak supir angkot datang dan kerubutin ayah walaupun dia yang salah, ayah gak mungkin bisa menghadapi kalau sambil jaga Caca.
Kalaupun ayah harus kabur, susah kalau sambil gendong Caca."
Anda boleh setuju atau tidak setuju dengan dialog saya dengan Salsa, tapi itu yang ada di kepala saya saat itu dan saya menahan diri karena saat itu saya memikirkan keselamatan Salsa,
bukan emosi saya saat itu.

Pernah juga saya naik taksi dan argonya argo kuda.
Saya yakin sang sipir main kotor dengan argonya.
Karena tahu akan ribut dengan sang supir sebab saya hanya mau membayar sesuai harga biasa dan mengabaikan argo, saya meminta taksi berhenti di tikungan dekat rumah bukan depan rumah. Kenapa?
Berjaga kalau akhirnya ribut berkepanjangan, sang supir tidak tahu rumah saya, jadi anak-anak terjaga. Untungnya saat itu sang supir malu hati karena ketahuan main curang.

Kalau Anda pesan taksi lewat telepon, dan supir menjemput Anda di rumah, sebaiknya berpikir panjang jika ingin komplain berat. Kenapa?
Bayangkan kalau Anda komplain berat dan sang supir akhirnya dipecat.
Ia punya waktu kosong karena nganggur, ia juga punya masalah keluarga karena tidak punya penghasilan, dan dia cuma ingat itu semua karena Anda yang melapor dan ia tahu rumah Anda.
Kalau sudah dipecat ia sudah tidak lagi terikat peraturan perusahaan dan jadi pribadi yang bebas termasuk menumpahkan dendam kepada yang melaporkan.

Intinya, jika ingin bertindak terutama berkaitan dengan konflik, pikirkan dampaknya bagi keselamatan Anda dan keluarga.
Ingat, kita tidak pernah tahu apa yang ada di hati orang.
Zamannya sudah makin gila.

Kelima:
Preventif maksimal (Pencegahan)
Untuk hal yang bersifat kriminalitas kita harus menerapkan prinsip Prepare for The Worse.
Saya teringat ketika nyambi bekerja di Jakarta Internasional School. Di sana setiap anak masuk mobil jembutan ada absennya, jika ada yang tidak jadi ikut ada juga laporannya. Jadi semua data terdata rapih, jadi sangat sulit ada peluang penculikan.
Itu namaya prapare for the worse.

Anda baru saja memecat supir pribadi yang tertangkap basah misalnya mencuri jam tangan.
Apa yang Anda katakan pada anak Anda yang masih kecil?
"Nak, Pak ini sudah tidak jadi supir kita. Jadi jangan mau ikut kalau dia jemput kamu di sekolah sekalipun dia bilang disuruh ayah atau bunda jemput kamu."
Anda baru memecat pegawai yang dekat tidak jujur dan kebetulan dekat dengan anak-anak.
"Nak, Pak ini sudah tidak bekerja dengan kita, jadi kalau dia ajak kamu kemana, harus konfirmasi dulu ke ayah atau bunda ya..."
Setidaknya Anda sudah berjaga-jaga.

Keenam
Jika Anda mempunyai pembantu, pastikan Anda memberi standar keamanan yang tinggi.
Misalnya;
"Mbak, saya tidak ada janji sama siapa-siapa jadi selama saya pergi jangan buka pintu untuk siapapun!!
"Kalau ada tamu yang datang, telepon saya dulu sebelum buka pintu, jangan pedulikan seberapa sering bel dipencet atau seberapa keras pintu diketuk!"


Ketujuh. Siapkan perangkat dukungan
Catat nomor kantor polisi terdekat. Jangan skeptis dengan service polisi, karena pada beberapa pengalaman, saya menemukan polisi cepat tanggap.
Pastikan punya nomor tetangga, karena pada keadaan genting di rumah ketika Anda di kejauhan, maka hanya tetangga yang bisa memberikan respon secara cepat.
Beri tahu juga nomor-nomor penting tersebut pada pasangan dan anak-anak.

Ya, itulah sedikit uneg-uneg saya tentang parenting dalam kaitannya dengan kejahatan.
Insya Allah akan diungkap lebih banyak dalam buku parenting bertemakan home safety.
Semoga bermanfaat.
Paling kaya paling sibuk, refleksi adab di jalan raya
Kalau Anda mau lihat perilaku orang paling kaya dan paling sibuk,
coba lihat di Jakarta dan sekitarnya.
Saya tidak tahu apakah di kota besar lain seperti Surabaya, Medan, Makasar, Bandung dan lainnya, berperilaku sekaya dan sesibuk orang di Jabodetabek.

Saya sangat takjub ketika melihat ada mobil berhenti di jalan,
karena sang pengendara berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan yang kebetulan dikendarai orang yang dikenalnya.
Sekalipun belakang ada mobil lain, kedua mobil tersebut berhenti sejenak dan kedua pengendara saling ngobrol sebentar.
Ya, itu salah satu perilaku orang yang sangat kaya, karena jalan raya ternyata milik mereka, sehingga mereka bisa berhenti seenaknya dan ngobrol dengan teman lama.

Kalau angkot (angkutan kota) jangan ditanya.
Mereka bisa berhenti di pingggir jalan, tengah jalan, di tikungan, atau di mana saja.
Mereka bebas menunggu penumpang semaunya tanpa peduli kemacetan yang diakibatkannya.
Karena mereka punya mental, jalan ini milik saya.

Ternyata yang punya jalan bukan cuma pengendara mobil.
Saya juga sering melihat anak remaja yang memiliki jalan raya.
Kalau mereka berjalan bertiga, berempat bahkan berlima, mereka berjalan berjajar rata ke samping. Padahal mereka berada di jalan pas untuk dua mobil, tanpa trotoar.
Setengah jalan dipakai mereka berjalan berdampingan sambil ngobrol atau makan es,
atau bersenda gurau.
Mobil terpaksa bergantian masuk jalur kosong, menghindar dari mereka.

Itu sedikit profil orang-orang kaya pemilik jalan raya yang saya sering jumpai.

Ada lagi orang super sibuk di jalan raya, rasanya waktu sedetik saja sangat bermakna.
Mereka sebagian besar diwakili pengendara motor.
Kalau lampu merah menyala, selama masih ada celah kecil, walaupun selisih beberapa detik tetap dimasuki.
Kalau ada macet, mereka masuk sampai tempat yang tidak bisa bergerak, sehingga macet sudah diatasi.
Kalau semua jalan penuh, mereka naik ke trotoar dan membuat pejalan kaki menyingkir.
Kelihatan sangat mengejar waktu.
Pasti mereka orang sibuk! Setidaknya begitulah perilakunya di jalan raya.
Saya tidak tahu pasti sesibuk itukah mereka di tempat kerja?
Tidak ada waktu menunggu, terus bekerja dan mengambil semua peluang yang ada?

Ada lagi penguasa jalan yang ahli hukum.
Kalau sudah mengusai jalur tidak mau mengalah. Sekalipun ada mobil lain yang kesulitan mau berbelok, sang penguasa jalan tidak mau berhenti tetap maju menutupi jalan mobil lain yang mau belok.
Memang yang lurus lebih berhak dari yang mau belok, itu kalau bicara kelaziman.
Tapi tidak selamanya harus diterapkan demikian bukan?
Tapi toh mereka merasa lebih berhak secara hukum.
Huh.

Apakah Anda pernah melihat orang terkaya dan tersibuk di dunia seperti contoh di atas?
Mereka yang mempunyai jalan raya dan mengusai jalan raya.
Atau apakah kita salah satunya?