Bagaimana saya mulai mengenal tsunami

Bagaimana saya mulai mengenal tsunami

Isa Alamsyah

Indonesia kembali berduka. Baru saja terjadi tsunami di Mentawai dan Gunung Merapi meletus lagi. Mari kita berdoa, semoga para korban yang masih hidup segera mendapat bantuan dan mendapat segala kemudahan. Semoga mereka yang meninggal mendapat rahmat di sisi-NYa. Dan berdoa bagi mereka yang tidak menjadi korban mempunyai kepedulian untuk menolong sesama.

Bencana ini membuat saya teringat bagaimana saya mulai mengenal tsunami dan menuliskan artikel ini.

Ketika saya bekerja di TV NHK Jepang biro Jakarta (Tahun awal tahun 2000-an), salah satu tugas saya adalah mengkonfirmasi BMG setiap kali ada gempa. Karena itu no tel BMG selalu ada di list contact yang saya bawa ke mana-mana.

Salah satu pertanyaan yang selalu saya tanyakan ke BMG di antaranya adalah:

Pertanyaan pertama, berapa skala richter? (untuk tahu besarnya gempa)

Pertanyaan kedua adalah berapa MMI? MMI adalah satuan untuk tahu seberapa gempa dirasakan manusia (Seberapa merusak). Mungkin ini yang banyak tidak diketahui masyarakat. Gempa besar jika di terjadi jauh dibawah tanah tidak dirasakan, sebaliknya gempa lebih kecil bisa merusak jika dekat demgam permukaan tanah. Jadi MMI tidak sepenuhnya sama dengan skala richter.

Pertanyaan ketiga, apakah ada kemungkinan tsunami? Pertanyaan ketiga ini, dulu sering tidak terjawab karena saat itu Indonesia tidak tahu banyak tentang tsunami.

Karena sering dapat tugas seperti ini akhirnya saya bertanya, kenapa NHK sangat concern terhadap gempa?

Saat itu kepala Biro NHK Jakarta cuma bilang, dulu pernah ada gempa di Chilie dan tsunaminya sampai ke Jepang.

Jadi setiap ada gempa di manapun kita harus memantau. Di NHK sendiri ada bagian khusus untuk masalah gempa.

Saya saat itu tidak begitu mengerti dan menganggap itu hanya SEKEDAR tindakan jaga-jaga.

Ternyata pertanyaan saya terjawab pada 26 Desember 2004.

Sebuah gempa di bawah permukaan laut di samudra Indonesia mengakibatkan tsunami terbesar dalam sejarah yang kita ketahui.

Gempa yang terjadi di dekat Aceh ini menyapu sebagian wilayah di 11 negara, korbannya berasal dari 50 negara, dan jumlah korban mencapai 150.000 orang (100.000 lebih di antaranya dari Aceh). www.guardian.co.uk

Hari kedua setelah tsunami, saya dan rekan-rekan NHK sudah tiba di sana untuk meliput dan bertahan sampai 3 bulan.

Saya tidak pernah menyangka bahwa pekerjaaan saya sebelumya mengecheck gempa dan kemungkinan tsunami yang dulu saya kira hanya SEKEDAR jaga-jaga, ternyata itu bukan cuma pekerjaan SEKEDAR jaga-jaga, tapi itu pekerjaan PENTING untuk jaga-jaga.

Dari situ saya mulai sadar mungkin saya saat itu masih terjangkiti salah satu penyakit 'mental Indonesia'

Apa itu penyakit 'mental Indonesia'?

Biasanya kita baru sadar kalau sudah ada kejadian.

Lebih parah lagi sudah ada kejadian pun kita masih gak sadar juga.

Lebih buruk lagi, ini masih belum banyak berubah.

Kita dulu dijejali pengetahuan negara Jepang adalah negara gempa sehingga setiap anak SD sudah belajar bagaimana menyelamatkan diri dari gempa.

Padahal ternyata, bukan Jepang tapi Indonesia adalah negara dengan gempa terbanyak. Kalau tidak salah di Indonesia ada 5000-an gempa tercatat setiap tahun sedangkan di Jepang hanya ada 3000-an gempa yang tercatat. Di dunia diperkirakan ada 30,000 gempa setiap tahun. Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah gempa bumi dengan kekuatan diatas 4 pada skala Richter yang terbanyak, yaitu rata-rata lebih dari 400 kali per tahun. Terdapat 129 gunung berapi di Indonesia dari 500-an gunung berapi di dunia, diantaranya ada 17 yang masih aktif seperti gunung Merapi. Belum lagi gempa dan letusan gunung berapi yang menyebabkan tsunamipun sering kali terjadi. Konon, sejak tahun 1600, selama kurun waktu 400 tahun, telah terjadi 100 kali tsunami yang menimbulkan korban lebih dari 340 ribu orang meninggal.

Indonesia, dari segi topografi, banyak sekali terjadi bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, ledakan gunung, banjir, longsor, kekeringan kebakaran hutan, dan lain-lain. Sejak tahun 1999 sampai 2008, selama 10 tahun, bencana alam telah mencatat kerugian yang sangat besar seperti, 180 ribu orang meninggal, 8,4 juta orang menjadi korban. Kerugian ekonomi mencapai US$.10 milyar.

Sebagian dari wilayah Indonesia yang termasuk dalam wilayah Monsoon Asia. Karena pada musim hujan hujan turun dengan derasnya , maka setiap tahun terjadi banjir yang menimbulkan korban banjir, misalnya, ketika tahun 2007, Jakarta dilanda banjir yang menelan korban meninggal dan hanyut sebanyak 80 orang, kerugian ekonomi sebesar 5,18 trilyun rupiah. Kemudian, karena banyaknya wilayah yang memiliki gunung berapi serta yang struktur geologinya tidak kuat, maka banyak sekali daerah-daerah seperti ini yang menimbulkan bencana longsor ketika turun hujan atau ketika gempa bumi (www.id.emb-japan.go.jp)

Lalu kenapa setiap anak di Jepang dilatih menyiapkan diri menghadapi gempa tapi di Indonesia tidak? (setidaknya sebelum tsunami).

Ternyata bukan karena gempa dan bencana kita kurang dari Jepang tapi kepedulian dan penghargaaan atas nyawa dan kehidupan yang kurang.

Setelah tsunami kita baru mulai mencicil pendidikan gempa (masih belum nasional), dan bahkan harus mengundang PBB dan bantuan asing untuk mengajar anak-anak tentang gempa. Suatu ilmu yang harusnya sudah dikuasai bangsa kita beberapa puluh tahun yang lalu.

Nampaknya lucu sekali pendidikan di Indonesia.

Anak-anak berkutat belajar tentang posisi kota ini berapa lintang derajat bujur barat timur dsb, yang bahkan pelajaran itu tidak dipakai sepanjang hidupnya, tapi pengetahuan penting yang menyangkut keselamatan diri tidak diajarkan.

Banyak hal tidak penting diajarkan, banyak hal penting harus diabaikan.

Berapa banyak lagi korban dibutuhkan unruk memberi kesadaran bagi pembuat kebijakan untuk lebih mempersiapkan anak bangsa lebih siap menghadapi bencana?

Berapa banyak lagi kejadian yang harus terjadi, agar kita lebih peduli agar tidak mengakibatkan bencana.

Tsunami di Aceh mungkin bisa diminimalisir jika ada pendidikan yang cukup.

Saya teringat ketika meliput pulau sabang, di Aceh.

Pulau itu lebih dekat dari pusat tsunami tapi korbannya lebih sedikit. Saat itu ketika air surut ada yang bilang, kalau ada gempa air surut nanti akan ada ombak besar datang, akhirnya mereka naik ke bukit. Informasi itu setidaknya menyelamatkan beberapa nyawa. Didukung countur tanah Sabang yang berbukit. (Ketika saya wawancara orang tersebut dia bilang dia tahu itu ketika ikut seminar gempa di Sulawesi).

Itu juga yang terjadi di sebuah pulau lain (saya lupa namanya, karena yang meliput teman yang lain). Pulau itu termasuk terdekat pusat gempa tapi korbannya sedikit. Di sana ada pengetahuan dari turun-temurun yang diketahui masyarakat bahwa kalau ada air surut setelah gempa akan ada ombak besar datang.(Khabarnya mereka tahu itu sejak penjajahan Jepang).

Pengetahuan ini yang tidak diketahui masyarakat Banda Aceh dan kebanyakan kota besar dulu. Bahkan ketika air surut banyak rakyat yang turun ke pantai karena banyak ikan tergelepar di pantai yang tiba-tiba surut.

Mungkin ada baiknya saya segarkan ingatan kita tentang antisipasi tsunami.

Tsunami di Indonesia pada umumnya adalah tsunami lokal, dimana waktu antara terjadinya gempa bumi dan datangnya gelombang tsunami antara 20 s/d 30 menit (gugling.com/kenali-ciri-ciri-tsunami.html).

Agar tidak timbul korban yang lebih banyak, kita harus mengenali ciri-ciri tsunami.

Tanda-tanda akan datangnya tsunami di daerah pinggir pantai adalah:

  1. Air laut yang surut secara tiba-tiba (Terjadi di Aceh).
  2. Bau asin yang sangat menyengat.
  3. Dari kejauhan tampak gelombang putih dan suara gemuruh yang sangat keras (Ini juga terjadi ketiika saya meliput tsunami di pantai Pangandaran 17 Juli 2006, mereka bilang seperti ada suara pesawat tempur menyerang dan mereka melihat ada garis putih di laut mendekati). Ciri-ciri ini juga penting untuk menghindari banjir bandang di sungai. Pokoknya kalau di sungai dengar gemuruh, langsung saja menyingkir (ini juga saya tahu ketika meliput banjir bandang di Bahorok di Bukit Lawang Sumatera Utara pada 2 Nopember 2003.

Tsunami terjadi jika :

  • Gempa besar dengan kekuatan gempa > 6.3 SR
  • Lokasi pusat gempa di laut
  • Kedalaman dangkal < 40 Km
  • Terjadi deformasi vertikal dasar laut

Kita tidak bisa melawan alam, tapi kita bisa meminimalisir korban dengan pengetahuan.

Kita tidak tahu kapan ada bencana alam, tapi kita bisa mempersiapkan diri dengan pelatihan.

Kita tidak bisa melarang tsunami atau gempa bumi tapi kita punya komunikasi yang bisa meminimalisir korban.

Tsunami bisa melaju dengan kecepatan 800km/jam di air. Gelombang gempa bisa melaju dengan kecepatan 3200km/jam di dalam tanah. Tapi signal radio bisa menembus kecepatan 300.000 km/ detik. Artinya tetap ada kesempatan untuk peringatan (Tim Radford: The Guardian).

Bencana pasti datang?Pilihan kita hanyalah kita ingin lebih siap menghadapinya atau berpikir "lihat saja nanti".

Semoga Allah melindungi. GBU all.

Speed and Accuracy dalam jurnalistik
Dalam jurnalistik dibutuhkan speed (kecepatan) dan acuracy (ketepatan).
Berita yang lebih cepat unggul dari yang lambat,
berita yang lebih akurat lebih unggul dari yang tidak akurat.

Mana yang lebih penting dari keduanya?
Akurasi jelas lebih penting dari kecepatan, tetapi jika akurat dan cepat, itu luar biasa.
Jika cepat tapi tidak akurat, itu memalukan! Seperti mau menang tapi ternyata curang.
Maka pilihannya buat seorang jurnalis adalah; Cepat dan akurat, atau lambat asal akurat. Tidak boleh cepat tapi tidak akurat apalagi yang parah sudah lambat tidak akurat.

Tulisan ini terilhami ketika saya membaca berita di koran "R" dan "K" pada Selasa 15 November 2011.
Kedua berita memasukkan tabel perolehan medali di halaman depan.
Pada catatan perolehan emas, koran "R" menampilkan Indonesia sudah memperoleh 55 emas, 46 perak dan 36 perunggu.
Padahal koran "K" melaporkan Indonesia sudah memperoleh 60 emas, 50 perak dan 33 perunggu.
Dalam hal ini, keduanya sama-sama koran pagi dan koran "K" lebih akurat karena paling up to date.
Terlihat koran "K" menunggu sampai last moment sebelum dicetak, atau mungkin koran "K" mempunyai deadline cetak lebih lama sehingga mempunyai kesempatan unggul dalam update.
Tulisan ini sama sekali tidak ingin mengatakan media mana lebih baik dari yang lainnya, tapi dalam hal tabel ini yang lebih update lebih bagus.

Speed dan akurasi dalam media akan terlihat jelas ketika berhubungan dengan angka dan data.
Dan pertarungan speed dan accuracy ini lebih tampak jelas di media TV dan online yang bisa update setiap waktu.

Saya ingat ketika bekerja sebagai wartawan di media NHK.
Saat itu terjadi bom bali pertama pada Oktober 2002.
Media berlomba-lomba melaporkan dan mengupdate jumlah korban.
Media yang lebih cepat update lebih unggul.
Tapi lucunya ada media TV berinisial "M" melaporkan jumlah korban cukup besar dan beberapa jam kemudian melaporkan jumlah yang lebih kecil. Itu merupakan kesalahan fatal.
Saat itu pimpinan NHK Jepang, Fujishita marah dan berkomentar
"Jangan pernah, melaporkan jumlah korban, lalu kemudian menguranginya, memalukan. Kalau menambah tidak apa, tapi mengurangi itu kesalahan besar!"
Ya, mengurangi jumlah korban berarti hitungannya asal-asalan.
Kemudian isu itu juga yang terjadi ketika saya meliput tsunami di Aceh.
Sebaiknyasangat berhati-hati mengupdate jumlah korban.
Kadang ada wartawan yang bisa dengan mudah excuse mengatakan, tapi yang bilang petugas dan sebagainya.
Tetap saja, berita salah berarti kita yang salah, dalam hal ini berarti kita percaya pada nara sumber yang salah, karena itu butuh check, double check, and recheck, confirm and reconfirm.

Saya juga ingat pengalaman bagaimana sebuah media menjaga akurasi.
Saat itu media NHK Jepang sedang menulis tentang kapal yang berisi bantuan akan dikirim ke sebuah daerah.
Saat itu sang wartawan menulis berita bahwa kapal tersebut berangkat hari ini.
Tapi sebelum email berita dikirim, saya harus menelepon berkali-kali ke pelabuhan untuk memastikan kapal sudah berangkat.
"Pak, kapalnya sudah berangkat?"
"Belum"
Sejam kemudian
"Pak kapalnya sudah berangkat belum?"
"Belum"
Sampai berkali-kali, sampai petugas pelabuhan saja heran, kenapa harus sedetil itu.
Setelah kapal melepas jangkar dan meninggalkan pelabuhan,
baru sang wartawan mengirim email berita keberangkatan kapal tersebut.
Artinya sang wartawan benar-benar ingin memastikan akurasi beritanya.

Sebenarnya prinsip speed dan acuracy juga bisa bermanfaat dalam kehidupan.
Kadang fitnah terjadi karena kita terburu-buru menyampaikan berita tanpa memastikan akurasinya.
Karena itu perhatikan juga speed dan akurasi dalam memberi informasi kepada orang lain.


Workshop/ Seminar Jurnalistik buat Figur Publik

Workshop/ Seminar Jurnalistik buat Figur Publik




Workshop/ Seminar Jurnalistik buat Publik Figur

Seringkali kendala muncul karena publik figur tidak mampu mengkomunikasikan apa yang ada dalam visi dan pikirannya ke masyarakat.
Akibatnya segala hal positif direncanakan ditangkap sebagai negatif.
Kemampuan publik figur menghadapi media merupakan salah satu kunci sukses untuk menjalankan rencana ke depan untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

Materi seminar atau workshop
Bagaimana menghadapi media
Bagaimana memilih informasi yang penting disampaikan
Bagaimana memahami apa yang dibutuhkan media dalam liputan
Memahami konsep 7 kata 7 detik
Bagaimana membuat media bisa menyampaikan ide kita
dll
Workshop/ Seminar Jurnalistik buat Aktivis dan Mahasiswa

Workshop/ Seminar Jurnalistik buat Aktivis dan Mahasiswa


Workshop/ Seminar Jurnalistik buat Aktivis dan Mahasiswa

Mahasiswa dan aktivis adalah salah satu pilar perubahan bangsa yang mempunyai kekuatan kontrol.
Media juga mempunyai peran kuat sebagai media aspirasi suara rakyat.
Apabila kegiatan mahasiswa mampu melibatkan media, maka kekuatan suara mahasiswa akan lebih terdengar.

Workshop/ Seminar ini dirancang untuk memberi pengetahuan tambahan bagi aktivis mahasiswa dan aktivis LSM agar suara mereka lebih terdengar.

Materi meliputi:
Bagaimana membuat media meliput kegiatan kita
Bagaimana membuat isu didengar media dan publik figur
Kegiatan apa yang menarik untuk diliput
Kapan waktu yang tepat untuk memulai aksi agar bisa diliput media
dll

Instruktur/ pemateri: Isa Alamsyah
Isa Alamsyah adalah jurnalis lepas yang selama 8 tahun pernah meliput untuk Yomiuri Shimbun (Koran beroplah terbesar di dunia mencapai 13 juta kopi per hari), Nos Radia Belanda, The Economist (London), Televisi NHK Jepang, dan membantu beberapa media lainnya.

Pengalaman liputan:
Selama bertugas sebagai wartawan, pria ini pernah meliput :
Timor Timur : Liputan menjelang pemungutan suara (Ballot), saat pemungutan suara, kerusuhan setelah pemungutan suara, kedatangan Interfet, perayaan hari kemerdekaan timor timur, wawancara president Timor Timur Xanana Gusmao
Aceh: Pelaksanaan referndum di Aceh, pemilu setelah reformasi di Aceh, peliputan kegiatan GAM< serta liputan Tsunami selama 3 bulan pertama.
Maluku: Kerusuhan Ambon
Sampit: Kerusuhan Sampit
Papua: Pengibaran bendera bintang kejora, Freeport Timika dan Wamena
Jogjakarta: Gempa Jogjakarta
Sumatera Utara: Banjir Bandang Bahorok, Sumut April 2004
Sukabumi: Tsunami di Pantai Pangandaran Jawa Barat 19 Jul 2006

Buku Jurnalistik:
Contact Directory (umum)
Directory Liputan hukum
Directory Hankam
dll
Workshop Jurnalistik buat Jurnalis Mahasiswa

Workshop Jurnalistik buat Jurnalis Mahasiswa




Workshop/ Seminar Jurnalistik buat Jurnalis Mahasiswa/ Jurnalis Pemula

Workshop/ Seminar ini dirancang untuk untuk mahasiswa atau siswa yang terlibat dalam kegiatan jurnalistik.
Tujuan workshop atau seminar ini adalah untuk membentuk jurnalis berkualitas di sekolah atau di kampus

Materi meliputi:
Bagaimana menentukan sudut pandang tulisan
Bagaimana memilih informasi yang penting dan tidak
Bagaimana menulis berita yang efektif
Bagaimana mendapatkan bocoran informasi
Bagaimana membina kontak
Bagaimana interview yang efektif
Apa perbedaan jurnalis cetak dan elektronik

dll
Bagaimana saya mulai mengenal tsunami

Isa Alamsyah

Indonesia kembali berduka. Baru saja terjadi tsunami di Mentawai dan Gunung Merapi meletus lagi. Mari kita berdoa, semoga para korban yang masih hidup segera mendapat bantuan dan mendapat segala kemudahan. Semoga mereka yang meninggal mendapat rahmat di sisi-NYa. Dan berdoa bagi mereka yang tidak menjadi korban mempunyai kepedulian untuk menolong sesama.

Bencana ini membuat saya teringat bagaimana saya mulai mengenal tsunami dan menuliskan artikel ini.

Ketika saya bekerja di TV NHK Jepang biro Jakarta (Tahun awal tahun 2000-an), salah satu tugas saya adalah mengkonfirmasi BMG setiap kali ada gempa. Karena itu no tel BMG selalu ada di list contact yang saya bawa ke mana-mana.

Salah satu pertanyaan yang selalu saya tanyakan ke BMG di antaranya adalah:

Pertanyaan pertama, berapa skala richter? (untuk tahu besarnya gempa)

Pertanyaan kedua adalah berapa MMI? MMI adalah satuan untuk tahu seberapa gempa dirasakan manusia (Seberapa merusak). Mungkin ini yang banyak tidak diketahui masyarakat. Gempa besar jika di terjadi jauh dibawah tanah tidak dirasakan, sebaliknya gempa lebih kecil bisa merusak jika dekat demgam permukaan tanah. Jadi MMI tidak sepenuhnya sama dengan skala richter.

Pertanyaan ketiga, apakah ada kemungkinan tsunami? Pertanyaan ketiga ini, dulu sering tidak terjawab karena saat itu Indonesia tidak tahu banyak tentang tsunami.

Karena sering dapat tugas seperti ini akhirnya saya bertanya, kenapa NHK sangat concern terhadap gempa?

Saat itu kepala Biro NHK Jakarta cuma bilang, dulu pernah ada gempa di Chilie dan tsunaminya sampai ke Jepang.

Jadi setiap ada gempa di manapun kita harus memantau. Di NHK sendiri ada bagian khusus untuk masalah gempa.

Saya saat itu tidak begitu mengerti dan menganggap itu hanya SEKEDAR tindakan jaga-jaga.

Ternyata pertanyaan saya terjawab pada 26 Desember 2004.

Sebuah gempa di bawah permukaan laut di samudra Indonesia mengakibatkan tsunami terbesar dalam sejarah yang kita ketahui.

Gempa yang terjadi di dekat Aceh ini menyapu sebagian wilayah di 11 negara, korbannya berasal dari 50 negara, dan jumlah korban mencapai 150.000 orang (100.000 lebih di antaranya dari Aceh). www.guardian.co.uk

Hari kedua setelah tsunami, saya dan rekan-rekan NHK sudah tiba di sana untuk meliput dan bertahan sampai 3 bulan.

Saya tidak pernah menyangka bahwa pekerjaaan saya sebelumya mengecheck gempa dan kemungkinan tsunami yang dulu saya kira hanya SEKEDAR jaga-jaga, ternyata itu bukan cuma pekerjaan SEKEDAR jaga-jaga, tapi itu pekerjaan PENTING untuk jaga-jaga.

Dari situ saya mulai sadar mungkin saya saat itu masih terjangkiti salah satu penyakit 'mental Indonesia'

Apa itu penyakit 'mental Indonesia'?

Biasanya kita baru sadar kalau sudah ada kejadian.

Lebih parah lagi sudah ada kejadian pun kita masih gak sadar juga.

Lebih buruk lagi, ini masih belum banyak berubah.

Kita dulu dijejali pengetahuan negara Jepang adalah negara gempa sehingga setiap anak SD sudah belajar bagaimana menyelamatkan diri dari gempa.

Padahal ternyata, bukan Jepang tapi Indonesia adalah negara dengan gempa terbanyak. Kalau tidak salah di Indonesia ada 5000-an gempa tercatat setiap tahun sedangkan di Jepang hanya ada 3000-an gempa yang tercatat. Di dunia diperkirakan ada 30,000 gempa setiap tahun. Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah gempa bumi dengan kekuatan diatas 4 pada skala Richter yang terbanyak, yaitu rata-rata lebih dari 400 kali per tahun. Terdapat 129 gunung berapi di Indonesia dari 500-an gunung berapi di dunia, diantaranya ada 17 yang masih aktif seperti gunung Merapi. Belum lagi gempa dan letusan gunung berapi yang menyebabkan tsunamipun sering kali terjadi. Konon, sejak tahun 1600, selama kurun waktu 400 tahun, telah terjadi 100 kali tsunami yang menimbulkan korban lebih dari 340 ribu orang meninggal.

Indonesia, dari segi topografi, banyak sekali terjadi bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, ledakan gunung, banjir, longsor, kekeringan kebakaran hutan, dan lain-lain. Sejak tahun 1999 sampai 2008, selama 10 tahun, bencana alam telah mencatat kerugian yang sangat besar seperti, 180 ribu orang meninggal, 8,4 juta orang menjadi korban. Kerugian ekonomi mencapai US$.10 milyar.

Sebagian dari wilayah Indonesia yang termasuk dalam wilayah Monsoon Asia. Karena pada musim hujan hujan turun dengan derasnya , maka setiap tahun terjadi banjir yang menimbulkan korban banjir, misalnya, ketika tahun 2007, Jakarta dilanda banjir yang menelan korban meninggal dan hanyut sebanyak 80 orang, kerugian ekonomi sebesar 5,18 trilyun rupiah. Kemudian, karena banyaknya wilayah yang memiliki gunung berapi serta yang struktur geologinya tidak kuat, maka banyak sekali daerah-daerah seperti ini yang menimbulkan bencana longsor ketika turun hujan atau ketika gempa bumi (www.id.emb-japan.go.jp)

Lalu kenapa setiap anak di Jepang dilatih menyiapkan diri menghadapi gempa tapi di Indonesia tidak? (setidaknya sebelum tsunami).

Ternyata bukan karena gempa dan bencana kita kurang dari Jepang tapi kepedulian dan penghargaaan atas nyawa dan kehidupan yang kurang.

Setelah tsunami kita baru mulai mencicil pendidikan gempa (masih belum nasional), dan bahkan harus mengundang PBB dan bantuan asing untuk mengajar anak-anak tentang gempa. Suatu ilmu yang harusnya sudah dikuasai bangsa kita beberapa puluh tahun yang lalu.

Nampaknya lucu sekali pendidikan di Indonesia.

Anak-anak berkutat belajar tentang posisi kota ini berapa lintang derajat bujur barat timur dsb, yang bahkan pelajaran itu tidak dipakai sepanjang hidupnya, tapi pengetahuan penting yang menyangkut keselamatan diri tidak diajarkan.

Banyak hal tidak penting diajarkan, banyak hal penting harus diabaikan.

Berapa banyak lagi korban dibutuhkan unruk memberi kesadaran bagi pembuat kebijakan untuk lebih mempersiapkan anak bangsa lebih siap menghadapi bencana?

Berapa banyak lagi kejadian yang harus terjadi, agar kita lebih peduli agar tidak mengakibatkan bencana.

Tsunami di Aceh mungkin bisa diminimalisir jika ada pendidikan yang cukup.

Saya teringat ketika meliput pulau sabang, di Aceh.

Pulau itu lebih dekat dari pusat tsunami tapi korbannya lebih sedikit. Saat itu ketika air surut ada yang bilang, kalau ada gempa air surut nanti akan ada ombak besar datang, akhirnya mereka naik ke bukit. Informasi itu setidaknya menyelamatkan beberapa nyawa. Didukung countur tanah Sabang yang berbukit. (Ketika saya wawancara orang tersebut dia bilang dia tahu itu ketika ikut seminar gempa di Sulawesi).

Itu juga yang terjadi di sebuah pulau lain (saya lupa namanya, karena yang meliput teman yang lain). Pulau itu termasuk terdekat pusat gempa tapi korbannya sedikit. Di sana ada pengetahuan dari turun-temurun yang diketahui masyarakat bahwa kalau ada air surut setelah gempa akan ada ombak besar datang.(Khabarnya mereka tahu itu sejak penjajahan Jepang).

Pengetahuan ini yang tidak diketahui masyarakat Banda Aceh dan kebanyakan kota besar dulu. Bahkan ketika air surut banyak rakyat yang turun ke pantai karena banyak ikan tergelepar di pantai yang tiba-tiba surut.

Mungkin ada baiknya saya segarkan ingatan kita tentang antisipasi tsunami.

Tsunami di Indonesia pada umumnya adalah tsunami lokal, dimana waktu antara terjadinya gempa bumi dan datangnya gelombang tsunami antara 20 s/d 30 menit (gugling.com/kenali-ciri-ciri-tsunami.html).

Agar tidak timbul korban yang lebih banyak, kita harus mengenali ciri-ciri tsunami.

Tanda-tanda akan datangnya tsunami di daerah pinggir pantai adalah:

  1. Air laut yang surut secara tiba-tiba (Terjadi di Aceh).
  2. Bau asin yang sangat menyengat.
  3. Dari kejauhan tampak gelombang putih dan suara gemuruh yang sangat keras (Ini juga terjadi ketiika saya meliput tsunami di pantai Pangandaran 17 Juli 2006, mereka bilang seperti ada suara pesawat tempur menyerang dan mereka melihat ada garis putih di laut mendekati). Ciri-ciri ini juga penting untuk menghindari banjir bandang di sungai. Pokoknya kalau di sungai dengar gemuruh, langsung saja menyingkir (ini juga saya tahu ketika meliput banjir bandang di Bahorok di Bukit Lawang Sumatera Utara pada 2 Nopember 2003.

Tsunami terjadi jika :

  • Gempa besar dengan kekuatan gempa > 6.3 SR
  • Lokasi pusat gempa di laut
  • Kedalaman dangkal <>
  • Terjadi deformasi vertikal dasar laut

Kita tidak bisa melawan alam, tapi kita bisa meminimalisir korban dengan pengetahuan.

Kita tidak tahu kapan ada bencana alam, tapi kita bisa mempersiapkan diri dengan pelatihan.

Kita tidak bisa melarang tsunami atau gempa bumi tapi kita punya komunikasi yang bisa meminimalisir korban.

Tsunami bisa melaju dengan kecepatan 800km/jam di air. Gelombang gempa bisa melaju dengan kecepatan 3200km/jam di dalam tanah. Tapi signal radio bisa menembus kecepatan 300.000 km/ detik. Artinya tetap ada kesempatan untuk peringatan (Tim Radford: The Guardian).

Bencana pasti datang?Pilihan kita hanyalah kita ingin lebih siap menghadapinya atau berpikir "lihat saja nanti".

Semoga Allah melindungi. GBU all.

Kumpulan Film Jurnalistik
Dari film kita belajar jurnalisme, prinsip, intrik dan nilai-nilainya.
Silakan tonton film di bawah ini untuk inspirasi jurnalistik;

1. Shattered Glass – This is probably one of the best journalism movies ever made. It focuses on ethics and how easy it is to ignore the faults in the popular kid in the newsroom as he makes news out of whole cloth. Based on the true story of Stephen Glass at the New Republic. PG-13

2. Good Night and Good Luck – Second best journalism movie ever made. It is of course the story of Edward R. Murrow and his fight against McCarthyism. And he even smokes on air – a sin under the new MPAA rules. PG

3. The Pelican Brief – Denzel Washington plays a great newspaper reporter. I like to use just the part where he interviews her and reviews his notes with my students. It is a great way to show kids how to take good notes. Based on the John Grisham novel. PG-13

4. The Killing Fields – Another great true story of a photographer Dith Pran and a reporter during the fall of Laos and the aftermath. R

5. All The President’s Men - I guess you just can’t escape this movie, the grand-daddy of all journalism movies. If you don’t know about Watergate, then you might want to check out a history book first. PG

6. State of Play – Really good movie about the modern world of journalism. It’s all in here, the salty old dog reporter and the young pup with a blog, layoffs, technology, politicians, a scandal, a corporate boss and good old fashioned beat reporting. PG-13

7. Absence of Malice – Another good story about ethics and when you should print information that might be damaging. This is one of the few fictional ones on the list. PG

8. The Truman Show – Not really about journalism, but about our television culture and how much we are invading into people’s personal space and the Orwellian camera culture we all live in today. PG-13

9. The Devil Wears Prada – Pretty good movie based on the book of the same name about the difficulties of breaking in and working at a fashion magazine. The movie is now an obit for a dying industry. PG13

10. Broadcast News – Pretty good movie on what is fake in the news. Some good scenes you could actually use to show kids how a news interview is really done and how looks are sometimes more important than talent. R

11. The Paper - Micheal Keeton plays a great foul mouthed, deadline oriented, sensationalist editor. An often too realistic look at many daily newspapers. R

Bonus 12+ Superman or Spiderman – Who doesn’t see journalists as superheros (especially journalism teachers)? Go rent almost any one of the movies featuring Peter Parker or Clark Kent.

And www.imdb.com, the Internet Movie Database, has a great new feature – search by topic: journalism, television, photographer, etc.