MENUNGGU SEMPURNA

MENUNGGU SEMPURNA

Isa Alamsyah

Pada sesi privat coaching penulisan buku,

beberapa klien selalu mengatakan bahwa bukunya tidak jadi-jadi karena belum sempurna.

Tulisannya tidak selesai selesai karena belum lengkap.

Saya katakan pada mereka,

jangan tunggu sempurna, karena tidak ada yang namanya sempurna.

Selalu ada cara lebih baik atas sesuatu.

Mungkin kita bilang buku kita sudah lengkap, sudah sempurna.

Tahun depan kita baca lagi akan kita temukan banyak kekurangan.

Jadi kalau mau menulis, ya tulis saja. Selesaikan.

Saya ingat banyak kenalan yang tidak mau pergi haji karena merasa belum siap.

Beberapa merasa belum sempurna ibadahnya.

Saya katakan, kalau menunggu sempurna,

maka ketika kita memutuskan haji saat itu kita sudah merasa sempurna,

dan ketika merasa sudah sempurna justru menunjukkan kita tidak sempurna.

Jadi, mulai saja, selesaikan saja.

Kalau mau mulai bisnis tunggu segalanya siap, bisa bisa gak mulai-mulai bisnis.

Kalau mau ikut lomba tunggu siap, bisa-bisa gak ikut lomba.

Langsung ACTION.

ACTION adalah jalan menuju ke kesempurnaan (baca: Perbaikan).

Bukan sebaliknya, menunggu kesempurnaaan baru ACTION.

Kalau tunggu sempurna bisa-bisa tidak pernah ACTION.

Apalagi KESEMPURNAAN hanya milik Allah SWT.

Berkatalah yang baik, atau lebih baik diam, hati-hati memahaminya

Berkatalah yang baik, atau lebih baik diam, hati-hati memahaminya

Isa Alamsyah

Kemarin saya menulis status "Berkatalah yang baik, atau lebih baik diam" dan mendapatkan respon serta tanggapan positif beragam.

Salah satunya ada yang bertanya, Apakah ini berarti "Diam itu emas"?

Nah apakah Anda setuju diam itu emas?

Tentu saja tergantung keadaaan.

Kalau kita buat skor 0 - 3, diam itu skornya cuma antara 0 sampai 1 saja karena ada yang lebih tinggi nilainya dari diam yaitu berkata baik dan ada yang lebih tinggi dari berkata baik yaitu ACTION baik/ positif.

Yang lebih buruk dari diam adalah berkata buruk dan di bawah berkata buruk ada lagi yaitu action buruk.

kalau dibuat tabel mungkin bisa seperti ini

Level tertinggi skornya 3: Action (mengubah keadaan menjadi lebih baik dengan tangan atau perbuatan).

Level kedua tertinggi skornya 2: Suggesting/ warning (mengubah keadaan menjadi lebih baik dengan lisan).

Level kesatu skornya 1: Diam tapi dalam hati menyimpan amarah atau dendam positif untuk mengubah.

Level nol skornya 0: Diam sama sekali tidak ada reaksi, pasrah (iklas bukan pada tempatnya - iklas pada keburukan).

Level minus 1: Diam tapi hati diam tapi setuju dengan keburukan (pro keburukan).

Level minus 2: Menggunakan lisan untuk keburukan (Nah di level inilah kata kata "Berkatalah yang baik atau lebih baik diam" bisa diaplikasikan.

Level minus 3 (terndah): Berbuat buruk, mendukung keburukan atau menjadi agen keburukan.

Cukup jelas kan?

Nah bagaimana praktek di lapangan?

Apakah Anda pernah pergi ke Mal besar yang musholahnya kecil, terpencil sehingga sholat bersedak-desakan?Jika semua pengunjung diam tidak ada yang protes ke manajemen maka Mal tersebut tidak akan memperbaiki fasilitas musholah.

Tapi kalau setiap pengunjung setelah sholat komplain, minimal manajemen mal berpikir untuk memperbaiki fasilitas.

Sayangnya sebagian besar pengunjungan hanya diam. Diam seperti ini yang namanya iklas bukan pada tempatnya, sabar yang melenceng penerapannya.

Kadang juga ada status yang cukup menggugah di facebook.

Ramai orang berkomentar memberi dukungan dan semangat.

Tapi tiba-tiba ada yang berkomentar pedas atau memberi omongan jorok merusak suasana, nah ini termasuk yang "lebih baik tidak usah komentar daripada merusak suasana"

Bicara tanpa ilmu juga berbahaya.

Sudah dengar kejadian Miss Universe tutup account twitternya?

Dia bilang mari berdoa untuk Korea, semoga kedua negara di Cina ini bisa damai.

Dia dicaci karena tidak tahu Korea itu dua negara yang berbeda dan bukan di Cina.

Bayangkan hal baik saja bisa jadi masalah.

Miss Universe itu malu dan tutup twitternya.

Yang terpenting sekarang adalah, di mana Anda ingin menempatkan diri.

Ketika melihat keburukan Anda pilih diam, pasrah?

Atau pilih berbicara atau menulis untuk perbaikan?

Atau pilih action positif dengan power yang Anda punya?Jika diam itu emas, maka berbicara baik mungkin mutiara, dan action positif adalah DIAMOND.

Dendam Positif

Dendam Positif

Isa Alamsyah

Saya saat ini sedang menulis buku seri motivasi ringan untuk remaja.

Bukunya tipis dan mungil tapi powerful dan sangat mudah dimengerti.

Salah satunya berjudul "DENDAM POSITIF"

Saya akan sedikit berbagi isinya:

Tahukah Anda, ada saatnya kita harus menyimpan rasa dendam.

Gak salah? Ya benar, dendam.

Kapan saatnya kita harus memelihara rasa dendam?

Kita harus menyimpan rasa dendam jika dendam tersebut berdampak positif bagi perilaku kita,

dan berdampak baik pada prestasi kita. Dendam seperti itulah yang disebut dengan dendam positif.

Apa ada yang namanya dendam positif? Ada.

Dendam adalah rasa marah, murka, respon, atas suatu peristiwa, hinaaan, cercaaan, kekerasan,

atau penderitaan yang kita alami.

Pada dendam negatif, ketika kita dihina maka kita membalas menghina. Ketika kita menjadi korban kekerasan,

kita membalas dengan kekerasan. Itu adalah jenis dendam yang biasa kita dengar.

Pada dendam positif, kita merespon segala keburukan dengan semangat perbaikan.

Ketika kita dihina, dengan dendam positif kita jadi punya semangat kerja keras yang sangat tinggi,

membara untuk membuktikan kita tidak pantas dihina.

Dendam positif tidak membuat kita memukul orang yang menghina, tapi membuat mereka malu

karena telah menghina orang yang salah (kita buktikan dengan karya).

Ketika kita menjadi korban kekerasan, dengan dendam positif kita tidak langsung membalas dengan kekerasan,

tapi kita terpacu untuk mencapai posisi tertinggi agar punya kekuatan untuk bisa menghapus berbagai tindak kekerasan.

Misalnya kita menjadi korban bully (penganiayaan) di sekolah atau di kampus.

Jika kita bangkitkan dendam negatif, maka kita akan membalas pelaku bully dengan kekerasan, atau kalau tidak berani kita akan membalas dendam pada junior kita tahun berikutnya.

Tapi jika kita kembangkan dendam positif, maka kemarahan sebagai korban bully,

kita jadikan motivasi untuk berprestasi tinggi di dalam kelas dan pergaulan, sehingga di masa depan punya power untuk bisa menghapus tradisi bully tersebut, sebagian atau seluruhnya.

Orang yang mempunyai dendam positif akan mempunyai energi lebih tinggi untuk mencapai cita-cita

karena mempunyai bahan bakar yang lebih untuk memanaskan semangat.

Karena itu, jika ada orang yang menghina, jadikanlah hinaan itu sebagai cambuk untuk mencapai kesuksesan.

Biarkan hinaan itu selalu terngiang-ngiang di telinga sehingga kita tidak berhenti bekerja keras sampai mencapai sukses.

Jadikan hinaan tersebut sebagai pembakar semangat dan jangan biarkan hinaan tersebut justru menjadi penghancur hidup. Jangan pula merespon hinaan dengan dendam negatif berupa membalas balik hinaan.

Orang bisa mengatakan hinaan, cercaan, atau perlakukuan buruk pada kita.

Tapi kita yang menentukan bagaimana cara meresponnya.

Karena keterbatasan halaman, saya tidak bisa mengungkap cerita kisah orang-orang sukses yang berhasil mencapai puncak karena terpicu oleh "Dendam Positif".

Anda akan takjub melihat banyak orang sukses yang ternyata mencapai puncak salah-satunya karena adanya dendam positif.

Kalau Anda sempatkan baca bukunya, Anda bisa melihat betapa sebuah hinaan yang sebenarnya bisa menghancurkan, justru bisa dibalik menjadi energi yang membangkitkan semangat.

Buku ini untuk sementara tidak dijual di toko buku (Karena terlalu tipis dan murah Rp 10.000-an),

jadi hanya dijual online saja.

Hub:081282210742

LOMBA MAKAN PARE SEDUNIA

LOMBA MAKAN PARE SEDUNIA


Ketika menonton emak ingin naik haji, Galuh Chrysanti takjub melihat semua orang dibioskop menitikkan air mata. Dari situ ia bisa merasakan betapa menulis bisa mempengaruhi orang. Malam setelah itu ia memutuskan untuk mulai menulis cerpen pertamanya. Untuk mempertajam kemampuannya menulis, Galuh Chrysanti mengikuti workshop menulis Asma Nadia dan mengirimkan cerpen pertamanya untuk dikoreksi Asma Nadia. Galuh Chrysanti sebelumnya tidak menyadari bakatnya menulis sampai akhirnya cerpen pertamanya tersebut terpilih sebagai karya terbaik peserta workshop dan diterbitkan dalam buku Asma Nadia terbaru "Sakinah Bersamamu". Sebuah lompatan yang luar biasa. Asma Nadia saja dulu cerpen pertamanya jadi bahan celaan seniornya di teater. Mungkin saja Anda juga punya kemampuan menulis tapi tidak menyadarinya, jadi mulailah menulis.

Untuk yang ingin tahu betapa bagus tulisan Galuh Chrysanti bagus dan kenapa dipilih Asma Nadia silakan baca buku "Sakinah Bersamamu".

Sejak mengikuti workshop, Galuh Chrysanti semakin produktif menulis, bahkan mulai banyak yang minta menulis, mulai banyak yang add friend di facebook, dan beberapa tulisannya dipersembahkan secara gratis untuk rekan-rekan online.

Beruntung kita di komunitas bisa! dan fan page Asma Nadia bisa juga kebagian tulisan gratis dari Galuh Chrysanti.Semoga bermanfaat, dan semoga semakin banyak kontibusi dari Galuh Chrysanti.

LOMBA MAKAN PARE SEDUNIA

oleh Galuh Chrysanti (http://on.fb.me/GaluhChrysanti)

Negeri Senyuman menyelenggarakan Lomba Makan Pare Sedunia. Lomba diikuti oleh tiga peserta yaitu Negeri Senyuman sebagai tuan rumah, Negeri Awan, dan Negeri Antah Berantah.

Lomba ini tergolong sangat sulit. Bayangkan, tiap peserta harus makan satu karung pare yang terpahit. Peserta tidak boleh keluar dari gelanggang jika pare tersebut belum dihabiskan semua. Peserta yang telah menghabiskan sepuluh buah pare, mendapat satu hadiah hiburan yang bertahap makin besar nilainya, hingga hadiah utama jika ia benar-benar mampu melahap satu karung pare itu.

Perlombaan dimulai. Peserta dari Negeri Awan tampak pucat setelah mengunyah pare pertamanya. Bahkan ia hanya mampu menghabiskan sebuah pare dan menyisakan sekarung penuh pare tanpa boleh keluar dari gelanggang.

Peserta dari Negeri Antah Berantah masih lumayan. Digigitnya pare bagiannya sedikit demi sedikit, dengan ekspresi wajah yang tak keruan. Mulutnya terus menggumam penuh keluh kesah yang tak tertahankan.

Peserta dari tuan rumah, Negeri Senyuman, tampil paling kreatif. Pare-pare itu dimasaknya menjadi santapan yang lezat. Memang sebetulnya tidak ada larangan dari panitia untuk mengolah pare itu lebih dulu, yang penting semua pare dapat masuk ke perut peserta lomba.

Sepuluh pare pertama ditumisnya, dicampur udang kecil dan cabe rawit. Sebelum dimasak, pare dilumatnya dulu dengan garam lalu dibilas, hingga makin hilang rasa pahitnya. Sepuluh pare kedua direbus dan dimakannya dengan siomay dan bumbu kacang hingga licin tandas. Aadapun sepuluh pare ketiga, diisinya dengan daging cincang lalu dikukus. Pare demi pare dihabiskannya hingga ia berhasil mendapatkan satu demi satu hadiah hiburan serta berhak menggondol hadiah utama.

Sahabat, lomba makan pare sedunia ini bagaikan masalah atau ujian hidup bagi kita. Ada tiga pilihan kita menjalaninya. Pertama, lari darinya, seperti peserta dari Negeri Awan kemudian menyisakan setumpuk persoalan yang tak terselesaikan.

Kedua, menjalani ujian dengan berat hati, seperti peserta dari Negeri Antah Berantah. Ia melalui satu demi satu ujian kehidupan dengan keluh kesah.

Ketiga, menikmati ujian seperti sang juara. Karena masalah dan ujian hidup itu adalah suatu kepastian yang harus dilalui setiap anak manusia, mengapa tak menghadapinya dengan lebih nikmat, walau sepahit apapun? Katakanlah pada setiap masalah yang menghampiri, “Selamat datang masalah, aku akan menghadapimu dengan senyuman, hingga dapat kucari solusimu dengan hati lapang dan tenang”.

Dengan sikap demikian, masalah tidak akan terlalu membuat hati kita sempit. Ujian hidup datang dan pergi sebagai konsekuensi atas eksistensi kita sebagai manusia. Menyelesaikan tiap masalah membuat kita bertambah cerdas dan dewasa sebagai bonusnya, bagaikan hadiah hiburan lomba makan pare di atas. Kita dapat memilih, untuk menjadikan masalah sebagai sesuatu yang kita nikmati. Seperti pahitnya pare yang dapat diolah menjadi tumis lezat, siomay pare, pare kukus, dan aneka makan nikmat lainnya. Selamat menikmati masalah, dengan senyuman. 

Setengah waktu hidup, terbuang percuma

Setengah waktu hidup, terbuang percuma

Isa Alamsyah

Jika hidup dijalani dengan mengikuti arus mengalir, kita akan melewatinya tanpa beban berarti.

Tanpa terasa kita sudah masuk sekolah, lalu lulus SMP, lulus SMA, tiba-tiba sudah kuliah atau bekerja, selanjutnya menikah dan punya anak, dan tanpa terasa anak-anak sudah besar, dst.

Setidaknya itu yang dialami sebagian besar manusia.

Karena itu kita sering dengar kalimat;

"Gak terasa yah, anak-anak sudah besar!"

"Gak terasa yah, kita sudah tidak pernah bertemu selama 20 tahun", dsb.

Lalu apakah sikap 'Follow the flow' ini baik atau buruk?

Sekilas kelihatannya mengikuti bagaimana arus kehidupan mengalir terdengar bijak.

Tapi apakah demikian?

Mari kita lihat apa yang terjadi pada kita jika hanya mengikuti arus kehidupan tanpa pernah mengevaluasi hidup kita.

Anggap saja usia kita 50 tahun.

Apa saja yang kita lakukan dalam hidup selama 50 tahun jika kita hanya mengikuti arus kehidupan.

Mari kita hitung.

Kalau sehari kita makan 3 kali sehari dan menyita waktu 30 menit setiap makan, maka dalam sehari kita habiskan 1,5 jam untuk makan, berarti selama 50 tahun kita habiskan 27.375 jam untuk makan atau setara dengan 3 tahunan.

Jika kita tidur 8 jam sehari berarti kita menggunakan 146.000 jam untuk tidur atau setara dengan 16-an tahun hanya untuk tidur.

Sebuah survey yang dilansir di acara Top Gear BBC mengungkap setiap orang rata-rata menghabiskan 5 tahun di kendaraan (di perjalanan).

Data lain di internet mengungkap setiap orang menghabiskan waktu sebanyak 2 tahun di kamar mandi.

Rata-rata pria pekerja menghabiskan waktu 30 menit dalam sehari untuk berpakaian dan berdandan, berarti itu menghabiskan waktu 1 tahun dalam hidupnya. Wanita bisa 2 atau 3 kali lipat lebih lama.

Nah kalau kita jumlahkan hitungan kasar tersebut, kita menghabiskan sekitar 27 tahunan untuk hal yang tidak produktif.

Itu belum termasuk shopping, jalan-jalan, relax, nonton TV, dan kegiatan non produktif lainnya.

Jadi sebenarnya, kalau kita hidup selama 50 tahun, setengah waktu tersebut nyaris tidak produktif.

Saya tahu, makan, minum, tidur adalah bagian dari penopang hidup, tapi apakah berarti harus mengambil separuh hidup kita?

Lalu bagaimana solusinya?

Karena itu tugas kita menemukan cara agar waktu yang tidak produktif di atas menjadi produktif.

Bagaimana caranya?

Artikel selanjutnya akan membahas.


Potensi yang terabaikan

Sewaktu kuliah saya mengenal seorang anak SD yang sangat kreatif dan cerdas.
Indikasinya, setiap saya beri tantangan permainan brain game (Permainan tantangan otak),
ia hampir selalu bisa menaklukkannya, sekalipun baru pertama kali bertemu game tersebut.
Padahal tidak sedikit teman saya mahasiswa UI yang gagal menaklukkan brain game tersebut.
Brain game sering digunakan juga untuk mengecek test IQ,
dan saya berani bertaruh, kecerdasan anak itu di atas rata-rata.
Saat itu saya berpikir, anak ini punya potensi luar biasa dan masa depannya akan gemilang.
Bayangkan, mahasiswa UI saja bisa dikalahkannya ketika SD.

Lima belas tahun kemudian saya bertemu lagi dengan anak tersebut.

Ia bukan lagi anak kecil. Usianya sudah menginjak dua puluh tahun lebih.
Dari ceritanya saya tahu ia sudah lulus SMA tapi tidak kuliah dan sudah bekerja.
Tahukah apa pekerjaannya?
Ia bekerja sebagai satpam di perusahaan kecil dengan gaji sangat kecil karena tidak ada tempat lain yang mau menerimanya bejkerja.

Tragis bukan?

Ya, seandainya saja anak ini dibimbing dengan baik,
mungkin masa depannya lebih cerah.
Atau kalau keluarganya kaya mungkin lain cerita.
Atau mungkin, kalau anak tersebut punya impian lebih besar,
mencari pergaulan yang tepat, nasibnya akan lebih baik.
Tapi saya tidak mau berkutat di pertanyaan ini salah siapa.

Saya lebih tertarik untuk melihat ini sebagai refleksi diri.

Sadarkah kisah anak ini sebenarnya mewakili sebagian besar dari kita.
Banyak orang disekitar kita seperti ini, terlihat begitu hebat di masa kecil,
dan tidak jadi siapa-siapa di masa depan.
Bahkan mungkin diri kita juga demikian.

Kenapa bisa orang yang mempunyai begitu besar potensi di masa lalu berakhir manjadi bukan siapa-siapa?

Banyak penyebabnya.
Mungkin kita pasrah pada keadaan yang tidak mendukung.
Mungkin kita cepat menyerah.
Mungkin kita tidak terlalu menganggap diri kita mempunyai potensi.
Dan begitu banyak kemungkinan.
Tapi hanya satu yang bisa menjelaskan kenapa kita nyaman hidup biasa-biasa saja.
Karena kita sudah nyaman dengan excuse yang kita buat untuk hidup biasa-biasa saja.
Excuse sama saja dengan kita sudah melegitimasi kegagalan kita.

Seandainya anak tersebut tidak menjadikan kemiskinannya,

ketidakpedulian orangtuanya sebagai excuse mungkin dia bisa lebih besar.
Seandainya kita tidak terbelenggu excuse, mungkin kita lebih besar dari sekarang.
Karena itu berhenti membuat excuse, No Excuse!
Dengan spirit No Excuse kita bisa mencapai apapun yang kita mau.
Salam.

Abaikan suara negatif dari dalam diri!
Abaikan suara negatif dari dalam diri!
Isa Alamsyah
dikutip dari buku NO Excuse halaman 47

"If you hear a voice within you say 'you cannot paint',
then by all means paint, and that voice will be silenced."

Jika engkau mendengar suara dalam diri, "kamu tidak bisa melukis"
maka bergegaslah melukis, maka suara itu akan hilang.
Vincent Van Gogh, Pelukis

Karena begitu banyak pencitraan negatif pada diri kita, maka alam bawah sadar kita pun ikut mengatakan kita tidak bisa. Kita seolah mendengar diri kita sendiri mengatakan "Anda tidak bisa!"
Manusia memang sering melakukan internal dialog dalam dirinya. Sebuah penelitian mengatakan, orang bisa melakukan 50.000 kali self talk secara sadar maupun tidak sadar dalam sehari.
Sebuah penelitian juga mengungkap bahwa, ketika menyangkut potensi diri, sebanyak 80% orang yang melakukan internal dialog mengatakan hal-hal yang negatif pada dirinya sendiri.
Akibatnya kita mengatakan tidak bisa sebelum mencoba, mundur sebelum bertanding, menyerah sebelum usai, dan berhenti sebelum sampai tujuan. Sungguh merugikan!
Padahal jika kita mampu mengubah hal ini, dan memberikan citra positif pada diri kita sendiri, kita akan menemukan bahwa diri kita ini luar biasa.
Jika kita sudah mempunyai citra diri yang positif, maka apapun hal negatif yang dikatakan orang lain, tidak akan berpengaruh pada kita.
Bagaimana mungkin kita berharap orang melihat secara positif jika kita tidak mampu melihat diri sendiri secara positif.
Kita harus mulai dari diri sendiri dulu, mulai dari sekarang.
Lihatlah ke cermin, katakan pada diri sendiri "Saya bisa!"