Belajar empati dari Tokyo

Belajar empati dari Tokyo




Ada pemandangan yang cukup menarik bagi saya, ketika pertama kali saya tiba di Tokyo beberapa tahun lalu.
Di antara hiruk pikuknya manusia, di antara begitu banyaknya orang berjejalan di kereta, seringkali saya melihat satu atau beberapa orang yang menggunakan masker menutupi hidung dan mulut mereka.

Siapa mereka?
Apakah mereka orang yang alergi debu atau rokok? Bukan.
Apakah mereka tampak sakit? Tidak, mereka terlihat sehat-sehat saja.
Tapi di situlah hebatnya.
Sekalipun mereka tampak sehat, sekalipun mereka bisa tampil menarik tanpa masker di wajah mereka,
mereka memilih memakai masker, untuk kepentingan orang lain.
Ya, sekalipun mereka terlihat sehat-sehat saja, sebenarnya sedang sakit flu
dan memilih menggunakan masker di publik agar tidak menulari orang lain.
Sekalipun sebenarnya jika tidak pakai masker orang lain juga tidak tahu mereka sedang flu.
Apakah itu pemaksaan atau peraturan?
Well, kalau mereka pakai di kantor atau sekolah bisa jadi pemaksaan.
Tapi kalau di jalan raya, di kerumunan, tentu saja ini kesadaran.
Sungguh luar biasa kesadaran mereka untuk empati dalam hal ini di bidang kesehatan.
"Kalau kamu tidak mau ditulari penyakit dari orang lain, jangan kamu menularkan ke orang lain," mungkin begitu prinsipnya.
Perlu diingat, saat itu belum ada isu SAR, belum ada yang namanya isu flu burung dan penyaklit pernafasan yang berbahaya.
Jadi ini benar-benar budaya empati yang sangat perlu kita contoh
(Di negara maju lain dan sekarang beberapa orang Indonesia juga mau melakukannya, salut).

Saya ingat ketika kena cacar air sewaktu masih kuliah.
Ketika luka saya sudah kering, saya ke kampus, beberapa teman, terutama mahasiswa yang belum pernah kena cacar air, keberatan saya masuk ke kelas karena takut ketularan.
Dulu, saya agak kesal juga dengan yang keberatan karena sudah ketinggalan pelajaran, tapi kini saya sadar saya yang salah, karena cacar air masa inkubasinya bisa 2 -3 minggu, jadi sekalipun saya sudah mulai sembuh tapi mungkin masih membawa virus.

Kesadaran empati kesehatan seperti ini nampaknya masih minim di Indonesia.
Saya juga mengenal seseorang yang anaknya baru saja kena cacar air.
Baru beberapa hari setelah sembuh, ia mengundang teman-teman anaknya untuk ulang tahunan di rumah,
padahal mungkin di rumahnya ada virus yang masih dalam masa inkubasi (masih berkeliaran), dan bisa menulari anak-anak yang hadir.

Itu mungkin bentuk ketidakdewasaan kita untuk punya empati di bidang kesehatan
Contoh yang paling sering kita lihat adalah merokok.
Sekalipun sudah dikampanyekan bahwa perokok pasif (orang yang menghirup asap rokok sekalipun tidak merokok) bisa beresiko lebih fatal dari perokoknya, tetap saja kita melihat banyak orang yang merokok tanpa mempedulikan lingkungannya.

Nampaknya kita harus belajar lebih banyak untuk mempunyai empati,
atau bisa merasakan perasaan orang lain, lebih besar lagi.

Semangat kuat saja tidak cukup, tapi kita juga harus hidup sehat! No Excuse!