Belajar dari Tsunami Jepang 2011
Isa Alamsyah
Sebelum memulai artikel ini, izinkan saya menyampaikan belasungkawa sebesarbesarnya pada para korban bencana tsunami di Jepang, dan marilah kita memanjatkan doa agar para korban bencana tsunami diberikan kemudahan dan ketabahan menghadapi bencana yang luar biasa ini. Amin.
Beberapa hari ini saya cukup banyak menghabiskan waktu di depan televisi menyaksikan berita berita gempa dan tsunami yang disiarkan di BBC, Al Jazeerah dan CNN, serta TV lokal.
Dari berbagai pemberitaan tersebut, banyak pelajaran yang kita bisa ambil dari peristiwa ini. Semoga bermanfaat.
Belajar dari pengalaman
Bangsa Jepang menunjukkan diri sebagai bangsa yang belajar dari pengalaman.
Setelah peristiwa Gempa Kobe sebesar 6,8 skala ricter dengan waktu sekitar 20 detik pada 17 Januari 1995 yang menewaskan 6.434 jiwa dan menghancurkan 200.000 bangunan, Jepang langsung bebenah diri. Seluruh bangunan baru di buat dengan daya tahan gempa yang lebih kuat di seluruh negeri bukan hanya di Kobe, karena asumsinya kalau di Kobe bisa terjadi seperti itu di manapun bisa.
Terbukti, ketika kemudian datang gempa dengan kekuatan 8,9 skala richter datang (30% lebih kuat) dan berlangsung cukup lama (beberapa menit) sebagian besar gedung bertahan dan gedung bertingkat hanya bergoyang-goyang.
Hanya saja kemudian banyak yang hancur diterjang tsunami dengan ketinggian 10 meter dengan kecepatan mencapai 800km/jam (hampir 3 kali kecepatan kereta tercepat sekalipun).
Belajar dari sini, Indonesia juga harus membuat bangunan berstandar gempa 9 skala ricter karena tren gempa saat ini setinggi itu (kebanyakan gedung dirancang untuk tahan gempa 6 skala richter).
Belajar tertib, tidak egois, dan tidak panik
Sekalipun bagi setiap orang, gempa sebesar ini adalah pengalaman pertama, sebagian besar masyarakat bisa menghadapi keadaan secara proporsional. Mereka takut tapi tidak panik, mereka tetap tahu harus melakukan apa dan bagaimana.
Jumlah gempa di Indonesia lebih banyak dari Jepang, hanya saja bangsa Jepang lebih menyiapkan diri anak bangsanya untuk menghadapi gempa.
Bahkan setelah gempa pun mereka tetap bersikap proporsional.
BBC dan CNN mengangkat bagaimana tertibnya bangsa Jepang setelah gempa.
Di Tokyo. sekalipun setiap 30 menit terjadi gempa susulan, masyarakat masih mengantri di stasiun, tidak berebutan, bahkan mereka masih berhenti di lampu merah.
Mereka sadar kalau mereka panik maka keadaan semakin kacau.
Butuh pendidikan tingkat tinggi dan panjang untuk membentuk mental masyarakat seperti ini. Bahkan terlihat bagi penyiar Amerika maupun Inggris, ini cukup menakjubkan.
Belajar kejujuran
Begitu gempa terjadi, Pemerintah Jepang langsung mengumumkan bahaya radiasi nuklir sehingga mengevakuasi warga.
Buat pemerintah lebih baik mengaku keadaaan agar tidak tambah korban daripada harus menutupi keadaan untuk menjaga citra pemerintah sambil melakukan perbaikan tapi beresiko membawa banyak korban.
Berbeda dengan pemerintah Uni Soviet ketika Pusat Nuklir Chernobil bocor. Pemerintah berusaha menutup nutupi hingga akhirnya informasi bocor 4 hari kemudian. Sehingga memakan lebih banyak korban.
Tetapi kejujuran pemerintah ini juga didukung oleh kesiapan infrastruktur mental orang Jepang yang tidak panik dan tertib.
Peran Sosial Media dan Multi Media
Sosial Media saat ini juga memberi peran penting dalam mengantisipasi korban lebih banyak. Beberapa menit setelah gempa, twitter melesat di Jepang, mencapai 1200 tewwt setiap menit. Google juga menyediakan google finder untuk mencari orang hilang.
Bumi Yang tidak ramah
Ada satu hal yang perlu diwaspadai. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi yang jelas ada sesuatu yang sedang berlangsung di bawah bumi dan membuat bumi menjadi tidak ramah buat manusia.
Bayangkan saja, ketika terjadi tsunami terjadi di Aceh (26 Desember 2004), ada yang mengatakan ini siklus 100 tahunan seperti yang terjadi di Portugal (1755). Tapi hanya beberapa tahun saja sudah terjadi tsunami besar di Jepang (Maret 2011).
Ketika terjadi gempa di Acah dengan skala kekuatan 8,9 skala ricter, banyak yang mengatakan, jarang terjadi gempa dengan kekuatan di atas 8 (memang sebelumnya demikian). Tapi setelah Aceh, Nias, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Joga ditimpa gempa besar kemudian kini Jepang.
Berlindung Pada Kekuatan Yang Lebih Besar
Peristiwa-peristiwa ini mengingatkan betapa sebenarnya manusia itu kecil.
Even bangsa yang tercanggih dan terkaya saja tidak mampu mengatasi bencana sekuat ini. Mobil bergelinding seperti mainan, rumah hancur seperti kardus, air meluncur dengan kecepatan pesawat terbang.
Hanya Sang Pencipta yang mampu menahannya.
Semoga kita bisa belajar banyak dari apa yang sedang terjadi.
Ada pemandangan yang cukup menarik bagi saya, ketika pertama kali saya tiba di Tokyo beberapa tahun lalu.
Di antara hiruk pikuknya manusia, di antara begitu banyaknya orang berjejalan di kereta, seringkali saya melihat satu atau beberapa orang yang menggunakan masker menutupi hidung dan mulut mereka.
Siapa mereka?
Apakah mereka orang yang alergi debu atau rokok? Bukan.
Apakah mereka orang yang alergi debu atau rokok? Bukan.
Apakah mereka tampak sakit? Tidak, mereka terlihat sehat-sehat saja.
Tapi di situlah hebatnya.
Sekalipun mereka tampak sehat, sekalipun mereka bisa tampil menarik tanpa masker di wajah mereka,
mereka memilih memakai masker, untuk kepentingan orang lain.
Ya, sekalipun mereka terlihat sehat-sehat saja, sebenarnya sedang sakit flu
dan memilih menggunakan masker di publik agar tidak menulari orang lain.
Sekalipun sebenarnya jika tidak pakai masker orang lain juga tidak tahu mereka sedang flu.
Apakah itu pemaksaan atau peraturan?
Well, kalau mereka pakai di kantor atau sekolah bisa jadi pemaksaan.
Tapi kalau di jalan raya, di kerumunan, tentu saja ini kesadaran.
Sungguh luar biasa kesadaran mereka untuk empati dalam hal ini di bidang kesehatan.
"Kalau kamu tidak mau ditulari penyakit dari orang lain, jangan kamu menularkan ke orang lain," mungkin begitu prinsipnya.
"Kalau kamu tidak mau ditulari penyakit dari orang lain, jangan kamu menularkan ke orang lain," mungkin begitu prinsipnya.
Perlu diingat, saat itu belum ada isu SAR, belum ada yang namanya isu flu burung dan penyaklit pernafasan yang berbahaya.
Jadi ini benar-benar budaya empati yang sangat perlu kita contoh
(Di negara maju lain dan sekarang beberapa orang Indonesia juga mau melakukannya, salut).
Saya ingat ketika kena cacar air sewaktu masih kuliah.
Ketika luka saya sudah kering, saya ke kampus, beberapa teman, terutama mahasiswa yang belum pernah kena cacar air, keberatan saya masuk ke kelas karena takut ketularan.
Dulu, saya agak kesal juga dengan yang keberatan karena sudah ketinggalan pelajaran, tapi kini saya sadar saya yang salah, karena cacar air masa inkubasinya bisa 2 -3 minggu, jadi sekalipun saya sudah mulai sembuh tapi mungkin masih membawa virus.
Dulu, saya agak kesal juga dengan yang keberatan karena sudah ketinggalan pelajaran, tapi kini saya sadar saya yang salah, karena cacar air masa inkubasinya bisa 2 -3 minggu, jadi sekalipun saya sudah mulai sembuh tapi mungkin masih membawa virus.
Kesadaran empati kesehatan seperti ini nampaknya masih minim di Indonesia.
Saya juga mengenal seseorang yang anaknya baru saja kena cacar air.
Baru beberapa hari setelah sembuh, ia mengundang teman-teman anaknya untuk ulang tahunan di rumah,
padahal mungkin di rumahnya ada virus yang masih dalam masa inkubasi (masih berkeliaran), dan bisa menulari anak-anak yang hadir.
Itu mungkin bentuk ketidakdewasaan kita untuk punya empati di bidang kesehatan
Contoh yang paling sering kita lihat adalah merokok.
Sekalipun sudah dikampanyekan bahwa perokok pasif (orang yang menghirup asap rokok sekalipun tidak merokok) bisa beresiko lebih fatal dari perokoknya, tetap saja kita melihat banyak orang yang merokok tanpa mempedulikan lingkungannya.
Nampaknya kita harus belajar lebih banyak untuk mempunyai empati,
atau bisa merasakan perasaan orang lain, lebih besar lagi.
Semangat kuat saja tidak cukup, tapi kita juga harus hidup sehat! No Excuse!
Isa Alamsyah
Ada yang menarik ketika kami (Isa Alamsyah dan Asma Nadia) pertama kali tiba di Venezia.
Bergantian orang datang menawarkan hotel dan restoran dan mereka dengan bangga mengatakan:
“Di sini masakannya enak, ibu saya sendiri yang masak!”
“Hotel ini adalah rumah kami, sangat nyaman dan menyenangkan!”
Begitu juga ketika kami berbelanja di pulau kecil (Burano-Murano) yang masih masuk dalam area Venezia.
Di sana dengan bangga pelayan toko bordiran berkata;
“Ini desain saya sendiri lo!”
“Ini yang menjahit ibu saya sendiri, dia menjahit sampai 1 minggu!”
Buat saya, orang Indonesia, pengalaman ini cukup unik.
Pertama karena di Indonesia, ketika kita bicara: “ini karya keluarga saya” maka yang terkesan adalah
‘tidak profesional’ atau ‘tentu saja kamu bilang bagus, itu karya kamu sendiri’ atau ‘tentu saja kamu bilang enak yang bikin ibu kamu sendiri’.
Ya, itu budaya kita.
Kita curiga orang tidak berkata benar atas kualitas ketika yang direkomendasikan adalah karya keluarga dari yang merekomendasikan.
Kadang kita merasa bersalah kalau mempromosikan karya sendiri atau karya keluarga sendiri,
terkesan tidak profesional.
Makanya jarang kan orang Indonesia membubuhkan namanya untuk nama perusahaan?
Selain rendah diri kita juga punya budaya tidak bangga dengan diri sendiri.
Bahkan di masa reformasi, hubungan kekeluargaan dianggap sebagai musuh.
Seolah tidak mungkin ada hubungan kekeluargaan yang seiring dengan profesionalisme.
Kalau bicara keluarga penguasa di masa orde baru mungkin benar, tapi bukan berarti semua keluarga Indonesia nepotisme bukan?
Jadi ingat kata-kata Fani Habibie (adik BJ Habibie).
Ketika BJ Habibie jadi Presiden, apapun jabatan yang dipegangnya selalu jadi sumber kritik karena dianggap didapatnya karena kakaknya presiden. Sampai dia bilang, kira-kira begini.
“Susah juga ya jadi adiknya presiden, jangan-jangan kalau saya jualan bakso sukses, juga dianggap karena dukungan presiden.”
Saat itu Junus Efendi (Fanny) Habibie langsung mengajukan pengunduran diri dari jabatan Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Batam (BIDA). Padahal, dia baru menduduki posisi tersebut beberapa bulan. Langkah Fanny diikuti oleh Ilham Habibie, putera BJ. Habibie. Ia melepaskan jabatannya sebagai Direktur Satuan Usaha Pesawat Terbang dan Kepala Divisi Purna Jual IPTN.
Padahal mereka adalah orang yang qualified.
Begitu takutnya terhadap isu nepotisme, bahkan kita menghukum sanak saudara yang qualified.
Saya punya kenalan seorang yang punya jabatan berpengaruh di televisi.
Istri dan anaknya adalah tokoh yang inspiratif yang sangat dikenal dalam komunitas Indonesia.
Menurut saya, kalau istri dan anaknya diorbitkan di Indonesia melalui televisi,
maka Indonesia akan punya tokoh nasional yang inspiring.
Tapi ia tidak mau menampilkan istri atau anaknya.
Ia memilih menampilkan orang lain yang jauh lebih rendah kualitasnya dibanding istri dan anaknya karena takut dianggap nepotisme.
Untung saja saya tidak peduli dengan pendapat orang kalau ada yang menuduh saya nepotisme.
Saya tidak ragu menunjuk istri atau anak saya kalau mereka lebih qualified dari yang lain.
Sebaliknya, saya juga tidak ragu memilih orang lain jika orang lain tersebut jika lebih qualified.
Saya percaya pada profesionalisme proporsional.
Profesionalisme tidak mengenal batas keluarga atau bukan keluarga.
Profesionalisme adalah profesionalisme.
Nepotisme adalah memilih seseorang karena dia keluarga kita,
tapi kalau dia profesional sekalipun dia keluarga kita itu juga profesional.
Bekerja sama dengan keluarga bisa profesional.
Bekerja sama dengan non keluarga bisa juga tidak selalu menjamin profesional
Jadi ukuran profesionalisme adalah kerja dan dedikasi, bukan apakah dia keluarga atau bukan.
Belajarlah dari orang Italy, dan banyak negara maju.
Mereka bisa bangga mengatakan “Ini karya keluarga saya sendiri”
Karena mereka tahu yang mereka banggakan adalah karya berkualitas.
Jadi banggalah pada diri sendiri, karena diri berkualitas
Banggalah pada keluarga kita sendiri, jika keluarga berkualitas.
Kalau Anda melihat ada orang menunjuk anaknya atau keluarganya menjabat sesuatu,
maka pertanyaannya adalah “Apakah mereka qualified?”
jangan langsung menuduh nepotisme.
Kalau hubungan keluarga yang jadi pertimbangan, maka itu nepotisme.
Tapi ingat, istilah nepotisme hanya berlaku untuk perusahaan atau lembaga publik,
sedangkan untuk perusahaan sendiri (perusahaan keluarga), bebas bernepotisme ria.
Jadi tempatkan segalanya pada proporsi yang tepat.
Budaya “profesional - proporsional” akan memberi kesempatan untuk maju bagi siapa saja.
Itu yang terlintas dari pengalaman saya ketika pertama kali mengujungi Venezia.