Speed and Accuracy dalam jurnalistik

Dalam jurnalistik dibutuhkan speed (kecepatan) dan acuracy (ketepatan).
Berita yang lebih cepat unggul dari yang lambat,
berita yang lebih akurat lebih unggul dari yang tidak akurat.

Mana yang lebih penting dari keduanya?
Akurasi jelas lebih penting dari kecepatan, tetapi jika akurat dan cepat, itu luar biasa.
Jika cepat tapi tidak akurat, itu memalukan! Seperti mau menang tapi ternyata curang.
Maka pilihannya buat seorang jurnalis adalah; Cepat dan akurat, atau lambat asal akurat. Tidak boleh cepat tapi tidak akurat apalagi yang parah sudah lambat tidak akurat.

Tulisan ini terilhami ketika saya membaca berita di koran "R" dan "K" pada Selasa 15 November 2011.
Kedua berita memasukkan tabel perolehan medali di halaman depan.
Pada catatan perolehan emas, koran "R" menampilkan Indonesia sudah memperoleh 55 emas, 46 perak dan 36 perunggu.
Padahal koran "K" melaporkan Indonesia sudah memperoleh 60 emas, 50 perak dan 33 perunggu.
Dalam hal ini, keduanya sama-sama koran pagi dan koran "K" lebih akurat karena paling up to date.
Terlihat koran "K" menunggu sampai last moment sebelum dicetak, atau mungkin koran "K" mempunyai deadline cetak lebih lama sehingga mempunyai kesempatan unggul dalam update.
Tulisan ini sama sekali tidak ingin mengatakan media mana lebih baik dari yang lainnya, tapi dalam hal tabel ini yang lebih update lebih bagus.

Speed dan akurasi dalam media akan terlihat jelas ketika berhubungan dengan angka dan data.
Dan pertarungan speed dan accuracy ini lebih tampak jelas di media TV dan online yang bisa update setiap waktu.

Saya ingat ketika bekerja sebagai wartawan di media NHK.
Saat itu terjadi bom bali pertama pada Oktober 2002.
Media berlomba-lomba melaporkan dan mengupdate jumlah korban.
Media yang lebih cepat update lebih unggul.
Tapi lucunya ada media TV berinisial "M" melaporkan jumlah korban cukup besar dan beberapa jam kemudian melaporkan jumlah yang lebih kecil. Itu merupakan kesalahan fatal.
Saat itu pimpinan NHK Jepang, Fujishita marah dan berkomentar
"Jangan pernah, melaporkan jumlah korban, lalu kemudian menguranginya, memalukan. Kalau menambah tidak apa, tapi mengurangi itu kesalahan besar!"
Ya, mengurangi jumlah korban berarti hitungannya asal-asalan.
Kemudian isu itu juga yang terjadi ketika saya meliput tsunami di Aceh.
Sebaiknyasangat berhati-hati mengupdate jumlah korban.
Kadang ada wartawan yang bisa dengan mudah excuse mengatakan, tapi yang bilang petugas dan sebagainya.
Tetap saja, berita salah berarti kita yang salah, dalam hal ini berarti kita percaya pada nara sumber yang salah, karena itu butuh check, double check, and recheck, confirm and reconfirm.

Saya juga ingat pengalaman bagaimana sebuah media menjaga akurasi.
Saat itu media NHK Jepang sedang menulis tentang kapal yang berisi bantuan akan dikirim ke sebuah daerah.
Saat itu sang wartawan menulis berita bahwa kapal tersebut berangkat hari ini.
Tapi sebelum email berita dikirim, saya harus menelepon berkali-kali ke pelabuhan untuk memastikan kapal sudah berangkat.
"Pak, kapalnya sudah berangkat?"
"Belum"
Sejam kemudian
"Pak kapalnya sudah berangkat belum?"
"Belum"
Sampai berkali-kali, sampai petugas pelabuhan saja heran, kenapa harus sedetil itu.
Setelah kapal melepas jangkar dan meninggalkan pelabuhan,
baru sang wartawan mengirim email berita keberangkatan kapal tersebut.
Artinya sang wartawan benar-benar ingin memastikan akurasi beritanya.

Sebenarnya prinsip speed dan acuracy juga bisa bermanfaat dalam kehidupan.
Kadang fitnah terjadi karena kita terburu-buru menyampaikan berita tanpa memastikan akurasinya.
Karena itu perhatikan juga speed dan akurasi dalam memberi informasi kepada orang lain.


0 Comments

Post a Comment