Isa Alamsyah & Rendro Dani (http://www.facebook.com/rendro.dhani)
Ada tanggapan atas artikel The Prince yang nampaknya perlu diketahui juga oleh member komunitas bisa! yang semakin memperkuat bagaimana sebuah buku bisa mengubah dunia (walaupun tentu saja bukan buku itu saja faktor penyebabnya).
Tanggapan kebetulan disampaikan oleh Rendro Dhani teman saya ketika sama-sama bekerja sebagai wartawan di TV NHK Jepang.
Silakan simak komentar Rendro Dhani:
Saya nambah dikit ya...
buku karangan Niccolo Machiavelli itu aslinya berjudul Il Principe (Sang Pangeran), yang setelah selesai ditulis kemudian dipersembahkan kepada Raja yang berkuasa saat itu sebagai "persembahan". Inilah uniknya Machiavelli, ketika orang memberi upeti kepada penguasa berupa emas dan barang berharga lainya, Machiavelli mempersembahkan bukunya sebagai upeti.
Boleh jadi Hitler, Musolini dan Stalin, bahkan Mao Tse-Tung pernah membaca buku Machiavelli yang tergolong sangat tipis itu (kurang dari 100 hlm) namun berat & dalam. Tapi banyak literatur yang mengatakan bahwa para pemimpin otoriter dan fasis itu lebih terinspirasi oleh buku The Communist Manifesto karya Karl Marx (Das Capital) yang kemudian disempurnakan oleh Friedrich Engels (setelah Marx wafat). Bahwa satu2nya cara untuk menumbangkan penguasa kapitalis dan menghilangkan kelas di masyarakat adalah hanya melalui revolusi, yang berarti harus dengan kekerasan yang ber-darah2. Sebelum Stalin melakukan pembantaian, Lenin sudah lebih dahulu membunuh jutaan rakyatnya sendiri dengan cara yang sangat kejam dan tidak terperikan. Lenin sangat setuju dengan pemikiran Marx, menjadi diktator dan menerapkan hal itu di negaranya, maka lahirlah Communism Leninism. Di Cina, Mao Tse-Tung juga menerapkan pemikiran Marx, namun ada perbedaan dikit maka lahirlah Maoism Communism.
Di Indonesia, PKI mungkin juga idem, berkali-kali mereka menggunakan cara yang sama, melakukan revolusi untuk merebut kekuasaan (terakhir konon mereka khawatir didahului oleh militer/dewan jenderal, sehingga terjadilah G30S).
Marx sendiri melalui gagasan materialisme-nya sesunguhnya baru yakin benar dengan pemikirannya sendiri setelah lahir karya Charles Darwin yaitu On the Origin of Species, yang antara lain pemikiran kontroversialnya adalah manusia itu nenek moyangnya adalah sebangsa monyet dan juga mengatakan bahwa mahluk hidup itu tercipta dengan sendirinya, jadi dia menafikan existensi/campur tangan Tuhan. Itu yang diamini oleh Marx dengan gagasannya tentang materialism.
Pemikiran Machiavelli intinya "menghalalkan" segala cara untuk merebut, memelihara dan mempertahankan kekuasaan. Para tokoh besar dunia saya yakin memang suka membaca, dan bacaannya buanya....aaak, yang semua itu jelas memberi pengaruh dalam cara dia memimpin.
Lalu pemimpin kita skrg gimana? Dia jelas suka baca buku juga, tapi gaya kepemimpinannya mungkin lebih condong ke pemikir melankolis dari Italia, Antonio Gramsci (yg aliran disebut neo-Marxist), bahwa untuk melakukan hegemoni (dominasi) tidak perlu menggunakan kekerasan apalagi dengan kekuatan militer, tapi dengan cara halus, yaitu merebut hati dan pikiran publik (wallahu alam bisawab).
Ket tambahan:
Setelah membaca komentar ini saya ngabrol dengan Agung Pribadi (Sarjana Sejarah lulusan Universitas Indonesia), ternyata Karl Marx dan Charles Darwin juga baca The Prince. Wah...
Ada tanggapan atas artikel The Prince yang nampaknya perlu diketahui juga oleh member komunitas bisa! yang semakin memperkuat bagaimana sebuah buku bisa mengubah dunia (walaupun tentu saja bukan buku itu saja faktor penyebabnya).
Tanggapan kebetulan disampaikan oleh Rendro Dhani teman saya ketika sama-sama bekerja sebagai wartawan di TV NHK Jepang.
Silakan simak komentar Rendro Dhani:
Saya nambah dikit ya...
buku karangan Niccolo Machiavelli itu aslinya berjudul Il Principe (Sang Pangeran), yang setelah selesai ditulis kemudian dipersembahkan kepada Raja yang berkuasa saat itu sebagai "persembahan". Inilah uniknya Machiavelli, ketika orang memberi upeti kepada penguasa berupa emas dan barang berharga lainya, Machiavelli mempersembahkan bukunya sebagai upeti.
Boleh jadi Hitler, Musolini dan Stalin, bahkan Mao Tse-Tung pernah membaca buku Machiavelli yang tergolong sangat tipis itu (kurang dari 100 hlm) namun berat & dalam. Tapi banyak literatur yang mengatakan bahwa para pemimpin otoriter dan fasis itu lebih terinspirasi oleh buku The Communist Manifesto karya Karl Marx (Das Capital) yang kemudian disempurnakan oleh Friedrich Engels (setelah Marx wafat). Bahwa satu2nya cara untuk menumbangkan penguasa kapitalis dan menghilangkan kelas di masyarakat adalah hanya melalui revolusi, yang berarti harus dengan kekerasan yang ber-darah2. Sebelum Stalin melakukan pembantaian, Lenin sudah lebih dahulu membunuh jutaan rakyatnya sendiri dengan cara yang sangat kejam dan tidak terperikan. Lenin sangat setuju dengan pemikiran Marx, menjadi diktator dan menerapkan hal itu di negaranya, maka lahirlah Communism Leninism. Di Cina, Mao Tse-Tung juga menerapkan pemikiran Marx, namun ada perbedaan dikit maka lahirlah Maoism Communism.
Di Indonesia, PKI mungkin juga idem, berkali-kali mereka menggunakan cara yang sama, melakukan revolusi untuk merebut kekuasaan (terakhir konon mereka khawatir didahului oleh militer/dewan jenderal, sehingga terjadilah G30S).
Marx sendiri melalui gagasan materialisme-nya sesunguhnya baru yakin benar dengan pemikirannya sendiri setelah lahir karya Charles Darwin yaitu On the Origin of Species, yang antara lain pemikiran kontroversialnya adalah manusia itu nenek moyangnya adalah sebangsa monyet dan juga mengatakan bahwa mahluk hidup itu tercipta dengan sendirinya, jadi dia menafikan existensi/campur tangan Tuhan. Itu yang diamini oleh Marx dengan gagasannya tentang materialism.
Pemikiran Machiavelli intinya "menghalalkan" segala cara untuk merebut, memelihara dan mempertahankan kekuasaan. Para tokoh besar dunia saya yakin memang suka membaca, dan bacaannya buanya....aaak, yang semua itu jelas memberi pengaruh dalam cara dia memimpin.
Lalu pemimpin kita skrg gimana? Dia jelas suka baca buku juga, tapi gaya kepemimpinannya mungkin lebih condong ke pemikir melankolis dari Italia, Antonio Gramsci (yg aliran disebut neo-Marxist), bahwa untuk melakukan hegemoni (dominasi) tidak perlu menggunakan kekerasan apalagi dengan kekuatan militer, tapi dengan cara halus, yaitu merebut hati dan pikiran publik (wallahu alam bisawab).
Ket tambahan:
Setelah membaca komentar ini saya ngabrol dengan Agung Pribadi (Sarjana Sejarah lulusan Universitas Indonesia), ternyata Karl Marx dan Charles Darwin juga baca The Prince. Wah...
0 Comments
Post a Comment