Pilih hukum atau keadilan?

Hukum dan keadilan terlihat seperti sama, padahal keduanya adalah dua hal yang berbeda.
Sekalipun idealnya hukum dan keadilan adalah satu paket yang tidak terpisahkan,
akan tetapi sayangnya secara teori maupun praktek, hukum dan keadilan tidak selalu berjalan seiring.

Contoh sederhananya bisa kita lihat pada pertandingan bola antara Inggris dan Jerman
pada piala dunia 2010.
Saat itu tim Inggris berhasil duluan memasukkan bola melewati garis gawang lawan.
Ratusan juta pemirsa di seluruh dunia juga melihat jelas bagaimana kamera menangkap gambar bola melewati garis masuk.
Sayangnya bola memantul ke luar dan wasit hanya melihat bola ketika sudah berada di luar.
Hasilnya sang wasit memutuskan tim Inggris dianggap tidak mencetak gol, dan tentu saja tim The Three Lions tersebut emosi dan akhirnya tidak bisa berkonsentrasi.
Akhirnya Inggris dikalahkan Jerman 4-1.
Inggris menyalahkan keputusan wasit tersebut membuat konsentrasi pemainnya pecah dan menjadi kalah telak.
Beberapa minggu kemudian, setelah diusut, FIFA mengakui bahwa sebenarnya bola yang dianggap tidak masuk oleh wasit tersebut, sebenarnya gol, hanya saja keputusan wasit tidak bisa diganggu gugat.


Secara hukum (atau peraturan), apa yang jadi keputusan wasit adalah yang sah sesuai hukum.
Secara keadilan, tidak adil, karena kamera menangkap jelas faktanya bolanya masuk.
Kejadian ini sedikit memberi gambaran tentang hukum yang tidak selalu seiring dengan keadilan.

Karena itu kita bisa melihat orang tidak bersalah bisa masuk penjara jika diputus hakim bersalah,
sebaliknya orang jahat bebas berkeliaran jika diputus hakim tidak bersalah.
Karena memang hukum tidak selamanya seiring dengan keadilan.

Lalu Anda pilih mana, pilih hukum atau keadilan?
Sayangnya kita tidak punya pilihan.
Kita harus patuh hukum, suka atau tidak suka, adil atau tidak adil.
Sekalipun sebagian besar memilih keadilan, tapi sayangnya yang punya power adalah hukum.


Tapi ada berita baiknya.
Sekalipun hukum masih belum sempurna, aturan hukum selalu berusaha mendekati keadilan.
Kabar baik lainnya, sekalipun hukum belum sempurna, ada logika hukum yang bisa kita pahami.
Kalau kita bisa memahami logika hukum maka kita minimal tidak menjadi korban aturan hukum yang tidak kita pahami.
Semakin kita memahami hukum kita semakin bisa mendekati keadilan dalam penerapannya.

Saya akan beri contoh beberapa kasus.
Misalnya ada orang memukul Anda, jika tidak Anda balas dan laporkan ke polisi maka yang memukul akan kena pasal penganiayaan. Tapi kalau Anda balas, maka masuknya ke perkelahian, dan pada posisi itu Anda tidak bisa menuntut hukum.

Contoh lain:
Kalau ada yang memukul Anda, dan Anda membalas dengan memukul balik dengan menggunakan buku, atau dengan melempar handphone, maka Anda jadi yang melanggar hukum. Karena Anda akan kena pasa perkelahian tidak seimbang.
Anda pakai alat sedangkan yang memukul Anda tidak pakai alat.
Sekalipun pukulan orang lain lebih keras daripada balasan Anda dengan buku misalnya, yang menggunakan alat bisa jadi terlihat lebih bersalah.
Karena itu hati hati, sekalipun kita membela diri, ketika kita pakai alat, malah kita yang bisa dijebloskan ke hukum. Ini koteksnya kalau kita konflik dengan teman, tapi kalau melawan kriminal bebas membela diri.
Guru yang melempar murid dengan gagang penghapus, memukul murid dengan penggaris, bisa dituntut dengan pasal ini. Makanya ketika saya nyambi kerja di Jakarta International School, segala macam body contact sangat dilarang (termasuk menegur siswa bule dengan mencentil, mencolek, semua bisa masuk ke pasal penganiayaan sdengan level tertentu).
Senior yang bully ketika di sekolah, bisa juga dijerat dengan pasal penganiayaan kalau sudah ada body contact.
Tapi kalau bully-nya hanya kata-kata, paling bisa dijerat dengan pasal tindakan yang tidak menyenangkan" dan ini pasal karet yang sangat luas penggunaannya.

Kenapa saya menulis artikel ini?
Saya baru saja bertemu dengan seorang anak yatim piatu yang mungkin akan kehilangan rumahnya.
Orang tuanya ditipu untuk menanda tangani sebuah surat kuasa kepemilikan rumah yang ternyata disalahgunakan oleh orang yang diberi amanah.
Dengan manipulasi tertentu, surat rumah itu tiba-tiba berganti nama.
Setelah orangtuanya meninggal anak tersebut akan diusir dari rumahnya sendiri.
Padahal semua orang dekat tahu benar rumah itu belum dijual dan anak itu yang berhak atas rumah tersebut, tapi di atas kertas anak tersebut bisa kalah secara hukum.
JIka bicara keadilan, anak tersebut berhak atas rumahnya, padahal secara hukum nama pemilik sudah berganti nama melalui manipulasi.
Saya tetap memilih keadilan dan berharap semoga hukum berpihak pada sang yatim piatu.
Amin.

Semoga saja kita tidak menjadi korban penyalahgunaan hukum.





7 comments

  1. Seneng bgt dh dapat nerima artikel2nya komunitas bisa, makash y mas...

    ReplyDelete
  2. ..trenyuh baca paragraf endingnya.. trims pak isa..

    ReplyDelete
  3. spt dbangunkn dr tdur, ada hal2 spt itu d skeliling kta smg si anak yatim piatu mmperoleh kbali haknya. ami.

    ReplyDelete
  4. Setuju sekali! Kadang-kadang kita malah kena masalah karena kita tidak tahu peraturan atau aturan mainnya. Seringkali menahan diri jauh lebih baik daripada membalas. Semoga aparat hukum dapat lebih berwibawa agar masyarakat lebih mempercayakan dirinya pada hukum.

    ReplyDelete
  5. saya belajar disni,,...makasih pak...

    ReplyDelete
  6. semoga saja kita dapat mengamalkan ....

    ReplyDelete
  7. Terimakasih .... Artikelnya baguz... Bermanfaat sekali......

    ReplyDelete


EmoticonEmoticon