Impian dari Buku Jilbab Traveller, kembali tercapai!

Impian dari Buku Jilbab Traveller, kembali tercapai!

Setelah Asma Nadia pulang dari Eropa, kami (saya - isa, istri - Asma, dan anak-anak - Salsa & Adam) memasang magnet souvenir dari belasan negara yang dikunjunginya. Sengaja kami mengajak anak-anak ikut menempelkan magnet tersebut supaya terbangun impiannya keliling dunia.

Ada kejadian yang menarik sekali saat itu.
Ternyata di kulkas kita sudah ada beberapa souvenir magnet dari negara-negara yang dikunjungi, padahal sebelumnya belum pernah ada yang ke sana.
Anehnya di belakang magnet tersebut masih tersimpan sticker harga Rp 10.000. Loh kok?

Oh. Saya ingat waktu itu, sekitar tahun lalu bersama Asma, kita belanja di toko souvenir, dan melihat pajangan magnet dengan latar belakang beberapa negara.
Karena Asma punya impian keliling Eropa saya tanya
"Bunda ada magnet beberapa negara nih, ambil negara mana aja?"
Asma menjawab singkat, "Swis ambil, Belanda ambil, Paris ambil, New Zeland ambil" saat itu ada beberapa negara yang tidak dipilih Asma.

Ternyata impian ini masuk ke alam bawah sadar kita dan seperti teori the secret atau semestakung (semesta mendukung) atau teori hadist qudsi (Aku ikut prasangka hambaKu), impian ini telah memberikan sinyal ke alam semesta.

Satu tahun kemudian Asma diundang ke Swiss, mampir Paris, Belanda dan belasan negara lainnya. Beyond the dream! Hanya satu yang belum dikunjungi dari magnet tersebut New Zeland. Kita lihat saja tahun-tahun ke depan.

Lebih lucunya lagi sekitar 7 bulan sebelumnya Asma sudah menulis tema tentang impian dari pintu kulkas, sebagaimana yang tertulis di buku Jilbab Traveller.
Buku ini bukan cuma tentang travel tetapi juga membangun impian.

Saya percaya semua bukan terjadi karena kebetulan.
Ada proses alam bawah sadar yang menggerakkan semua.

Percaya atau tidak, insya Allah jika kita baca buku ini dan bangkitkan impian selama membacanya bukan tidak mungkin kita akan punya kesempatan keliling dunia.
Ayo bangkitkan impian!

Silahkan simak pengantar Asma Nadia di buku Jilbab Traveler.

Saya pakai jilbab pada detik-detik terakhir kelas 3 SMP. Waktu itu sempat juga mikir apakah nantinya ruang gerak bakal terbatasi dengan jilbab? Apa ada hal-hal yang menjadi lebih sulit ketika saya berjilbab? Apalagi salah satu mimpi saya keliling dunia… entah uangnya dari mana, harus punya pekerjaan apa, atau harus menikah dengan siapa (hehehe…) agar mimpi itu terwujud.

Maklum saya berasal dari keluarga sangat sederhana, yang selama dua puluh tahun di Jakarta, mengontrak dari rumah kecil yang satu ke rumah kecil lain, makan pas-pasan… segala sesuatu serba ngepas.

Mengingat kondisi itu, jalan ke luar negeri seperti mimpi yang terasa jauh. Apalagi saya bukan remaja yang punya ‘kutukan’ kaya, alias dari sananya memang sudah kaya. Misal punya ortu kaya, kakek ama neneknya juga kaya… terus kakeknya kakek sama neneknya nenek juga kaya banget, hehehe. Intinya kalangan mapan yang nggak pernah susah.

Nah mimpi jalan-jalan ke luar negeri itu bermula dari pintu kulkas.

Iya, serius… cuma dari pintu kulkas, terutama pintu kulkas almarhumah Oma yang dulu tinggal di Bandung, terus pintu kulkas sanak saudara yang kaya, sampai pintu kulkas tetangga satu gang, yang tinggal di sebuah rumah besar di huk.

Nah, di pintu kulkas mereka bertaburan magnit souvenir dari berbagai negara. Saya suka sekali melihat souvenir kecil dengan gambar-gambar khas, yang menempel di pintu kulkas mereka. Saking sukanya saya sering berlama-lama memandangi. Cuma memandang saja tanpa berani menyentuh. Takut jika saya coba ambil dan lihat dari dekat, malah terlepas dari tangan, lalu terjatuh dan pecah. Saya nggak punya duit jajan yang cukup untuk menggantinya. Apalagi souvenir seperti itu biasanya memang dibeli langsung dari negara asalnya (meski sekarang banyak buatan Cina). Nggak kebayang kalau harus ganti. Dan pastinya saya nggak mau nyusahin orang tua hanya gara-gara menuruti keinginan yang nggak penting itu.

Ketika saya lulus SMA dan diterima kuliah melalui jalur PMDK, wah bahagia betul. Nggak pakai ikut sipenmaru (sebutan tes masuk ke perguruan tinggi negeri kala itu), saya sempat merasakan masa-masa indah kuliah di IPB. Masa-masa di mana mimpi saya bersinar lebih terang.

Tapi kuliah saya ternyata tidak bisa selesai karena satu dan lain hal. Tentang ini kapan-kapan saya ceritakan di buku yang lain yah. Yang jelas bukan karena drop out dari kampus, apalagi karena otak saya yang lemot.

Kenyataan ini sempat membuat mimpi saya meredup. Kalau nggak kuliah… terus gimana caranya saya bisa ke luar negeri, dong?

Apalagi saya kurang yakin akan mendapatkan suami kaya, hehehe. Soalnya ya itu lagi… kembali ke ‘kutukan’. Biasanya orang-orang kaya hanya menikah dengan orang-orang yang memang memiliki ‘kutukan’ sama. Ada sih beberapa pengecualian. Tapi mengingat tampang dan penampilan saya yang biasa aja dan jauh dari bening, terus kali di utan panjang yang airnya hitam banget. Hihihi… apa hubungannya coba? Soal kali yang airnya hitam itu, nggak sih … seumur hidup saya belum ngalamin berenang di sana. Dan ini penting ditegaskan demi nama baik saya di depan anak-anak. Hihihi… soalnya adik saya, Aeron pernah meledek begini ketika suatu hari kami melewati kali utan panjang,

“Nah, di kali yang item dan butek inilah bunda dulu sering berendam dan berenang ke sana kemari!”

Sopan banget!

Kembali ke soal calon suami, ya begitu deh. Saya harus membuang kemungkinan punya suami yang memiliki kutukan kaya. Saking terasa impossible-nya.

Nah tapi… kalau yang rajin bekerja terus pintar nyari uang… yah ini mungkin masih bisa dipilih-dipilih… (hehehe… udah kayak pedagang di kaki lima aja…).

Apa kalau kepepet, jadi TKW aja?

Saking penginnya ke luar negeri, pikiran begitu sempat terlintas juga. Tapi gimana kalau nanti saya ditaksir majikan? Hihihi…ge er amat!:P

Atau yang lebih buruk dapat majikan kejam? Bisa-bisa pulang cuma badan doang alias nyawa selembar tertinggal di negeri orang. Sedihnya!

Anyway, setelah nggak kuliah, saya ambil sekolah guru TK. Makin jauh dong dari impian… apalagi waktu itu gaji guru TK minus banget. Saya sempat ngobrol sama seorang guru TK, dia suami dan bapak dari tiga anak. Sebagai guru, gajinya di tahun 95-an itu hanya seratus dua puluh ribu. Ampun, kepala keluarga gitu lho… berat banget! Saya salut sama komitmennya juga teman-teman guru lain yang tetap mengajar meski secara materi tidak sepadan.

Selain guru TK, saya sempat juga belajar bahasa Arab. Bukan khusus untuk persiapan kali-kali bekerja ke luar negeri, melainkan biar lebih paham pas membaca Al Qur’an.

Terus saya juga ambil les Bahasa Inggris di beberapa kursus. Lumayanlah, pikir saya. Ada harapan dikit. Belum sampai ke Amerika atau Inggris, paling nggak saya bisa dikit-dikit ngomong Inggris, hehehe. Pokoknya ada inggris-inggrisnya aja waktu itu, saya udah girang banget.

Lalu saya menikah dengan lelaki dari keluarga sederhana, yang harus membiayai kuliahnya sendiri. Satu lagi bukti keakuratan tebakan saya soal saya nggak bakalan konek sama kalangan yang punya kutukan kaya tadi. Paling nggak itu membuktikan saya cukup tahu diri (halah!:P)

Pendek cerita, sebagai pasangan muda, kami sangat hemat masalah uang. Lebih-lebih waktu krisis. Bisa makan sehari-hari plus beli susu buat Caca aja udah bagus… boro-boro mikir jalan-jalan ke luar negeri.

Tapi mimpi yang nyaris terlupakan menemukan bentuk ketika suatu hari suami membawa pulang sebuah kulkas satu pintu. Kecil, tapi membangkitkan lagi semangat untuk mengejar mimpi. Bayangan souvenir-souvenir magnit di beberapa pintu kulkas yang saya eja waktu kecil, kembali menari-nari di kepala.

Selain kulkas, ‘perabot’ yang terbilang mewah bagi saya saat itu adalah sebuah komputer yang dibeli suami dengan memaksa diri, sebab tahu saya suka menulis. Dulu saya menulis dengan mesin tik pinjaman, lalu mesin tik milik sendiri. Dengan bantuan mesin tik itu saya sempat mengirimkan beberapa tulisan ke majalah dan mengikuti lomba, pernah menang juga. ...
baca lanjutannya di Buku Jilbab Traveller (tersedia di toko buku Gramedia)

10 comments

  1. Shobur Munajat December 28 at 2:29am respond to inbox isa alamsyahJune 6, 2011 at 7:39 PM

    aduh makasih ya tulisannya menginspirasi sekali, saya baru di Cairo (africa) pingin juga atuh keliling Europe, doa'nya ya kang Isa. Apalagi termotivasi sama buku2 karangan Andrea Hirata, Negeri Van Orange. Saya blom baca nih bukunya jilbab traveler kayaknya asyik. maulah nanti insya Allah mau beli. Do'anya mau exam nih sekaligus melanjutkan mimpi jalan2 ke Europe.

    ReplyDelete
  2. Ahmad Rosid AridoJune 6, 2011 at 7:40 PM

    saya juga lagi baca buku the secret...moga aja mimpi2ku bisa terwujud : pengen jadi ahli gizi klinik, pengen naik haji bareng ortu, pengen jg keliling eropa, pengen pnya mobil mewah n rumah mewah, pengen bahagia didunia n akhirat..amin
    saya masih berpikir apakah itu bukan termasuk panjang angan2, karena kalo panjang angan2 kan dilarang dalam agama...

    ReplyDelete
  3. Terima kasih motovasinya..
    Luar biasa, jadi pengen baca deh, belum apa2 udah termotivasi...
    Sepertinya, memang demikian ya... banyak hal yang kita capai hari ini adalah hal2 menjadi impian kita di masa lampau
    kalo sebagaimana yang dimaksud ahmad rosyid diatas, panjang angan dan cita2 atau harapan beda ya... meski nampaknya serupa :)

    ReplyDelete
  4. terima kasih atas buku2nya yang inspiratif sobat.....semoga menjadi amalan yang tak terputus......amiin.

    ReplyDelete
  5. Sinta Carolina December 28 at 11:23am (dari inbox isa alamsyah)June 6, 2011 at 7:44 PM

    Top Isa materi dr si Bisa!..sgt bagus utk motivasi..alhamdulillah hal spt ini sdh sering trjadi di klg gw.tp semuanya itu tdk lepas dr kebesaran mukjizat dan rezki dr Alloh SWT.yg penting kita yakin dan mau pasti bisa tentunya dgn seijin Alloh..semangat trs utk BISA!! Yes yes just do it!

    ReplyDelete
  6. Reiny Dwinanda December 28 at 2:31pm (dari inbox isa alamsyah)June 6, 2011 at 7:45 PM

    Haha, bener banget tuh, Mas Isa. Saya juga ngalamin hal yg sama. Waktu semester akhir kuliah di STIE Perbanas Jakarta, entah kenapa tiap pulang melewati Gedung Aryo Bimo, saya selalu menunjuk ke sana dan bilang, "Itu kantor saya!" Lima bulan setelah lulus, saya benar-benar berkantor di Aryo Bimo.
    Saya diterima bekerja sebagai wartawan portal berita ekonomi dan UKM. Satu setengah bulan kemudian, dejavu lain saya alami. Kali ini di Harian Umum Republika.
    Waktu SMA dulu, citra Republika sebagai koran Islam skala nasional begitu memukau saya. Sebagai jilbaber, saya selalu membuat khawatir orang tua. Mereka takut nanti saya susah dapat pekerjaan. Selintas terpikir untuk bergabung dengan Republika. Tapi, saat itu, impian ini mewah sekali buat saya.
    Begitu lulus SMA, saya tak diterima di PTN. Buat saya, itu wajar. Soalnya, otak saya memang pas-pasan. Saya justru sudah merancang di mana saya harus kuliah. Pilihan saya STIE Perbanas, yang bayarannya murah tapi punya nama besar juga. Saya sebetulnya tak begitu menyukai ilmu ekonomi. Tetapi, saya pikir saya harus memiliki keahlian, akuntansi, misalnya.
    Beruntung, di kampus ada Unit Kegiatan Mahasiswa yang menjadi tempat saya menyalurkan minat. Saya aktif di Dinamika, majalah kampus. Kemudian, kemampuan saya berorganisasi mengantarkan saya duduk di kepengurusan Badan Perwakilan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa. 'Karir' saya melesat di organisasi kemahasiswaan tersebut. Hingga akhirnya, teman2 meminta agar saya memimpin Dinamika. Saya menolak, dengan alasan yang sangat pribadi. Saya pikir nanti di CV, akan lebih 'bunyi' kalau nama saya tercantum sebagai koordinator reportase. Kalau posisi ketua sih, sudah berderet saya kantongi dari kegiatan lainnya, hehe...
    Pertimbangan itu rupanya membentuk pondasi karir saya di bidang jurnalistik. Kemahiran menulis dan organisasi pula yang mengantarkan saya ke Republika. Di mading kampus, saya dan calon suami ketika itu membaca pengumuman recruitment Republika. Calon suami meyakinkan itu pas banget dengan rekam jejak saya. Dia kirimkan CV yang saya buat lewat dari batas waktu rekrutmen. Tetapi, ternyata, CV saya tetap lolos seleksi dan dipanggil untuk mengikuti seleksi berikutnya. Jadilah saya bagian dari Republika. Satu lagi mimpi yang jadi nyata.
    Impian ke Paris juga kesampaian. Kini, setelah 8 tahun di Republika, bukan ke luar negeri yang menjadi obsesi saya. Saya cuma ingin jadi penulis yang lebih baik. Sempat saya minta disponsori kantor untuk mengikuti workshop seharga Rp 3 juta. Namun, pemred mengatakan tak ada dana untuk itu. Hingga akhirnya, saya dipertemukan dengan mbak Asma, lewat penugasan dari kantor, meliput profilnya. Begitu mbak Asma mengadakan workshop penulisan yang biayanya ratusan ribu, saya langsung menyisihkan gaji untuk mengikuti pelatihan itu. Buat saya, ini penting sekali. Sudah mandeg rasanya kreativitas penulisan saya. Usai mengikuti workshop, saya berturut menjuarai dua kompetisi menulis. Ini pencapaian yang sangat mengharukan buat saya.
    Sekarang, impian lain tengah saya bangun. Saya ingin kemahiran saya meningkat dan saya bisa menyekolahkan Rio, putra tunggal saya, ke sekolah yang bisa mengoptimalkan potensinya dan nyaman buatnya. Saya punya waktu dua tahun untuk mewujudkannya. Sepertinya, impian itu sulit diwujudkan dengan besaran gaji di tempat saya bekerja sekarang. Mungkin, kini saatnya keluar dari zona kenyamanan dan mencoba tantangan baru demi pendapatan yang bisa memfasilitasi saya menggapai cita-cita.
    Saya juga masih punya impian masa lalu, menjadi seperti Oprah. Pewawancara handal yang masuk TV, punya acara sendiri. Haha, some dreams...

    ReplyDelete
  7. istri punya koleksi perangko luar negeri, kira kira tercapai ndak ya keliling europe...hehee

    ReplyDelete
  8. dreams come true....! dunia ini ada di genggaman orang-orang yang meraih mimpi.

    ReplyDelete
  9. Yang tentang magnet kulkas tuh,, inspirasi bgt.
    Saya juga punya crita yang nggak nyangka bgt si bagi saya
    .,Kebetulan penulis favorit saya mba Asma. Dari saya kelas 1smp suka bgt ma tulisan mba Asma. Pa lagi yang judulnya Serenade Biru Dinda. Dari situ saya sering baca buku-buku mba Asma.
    Nah, waktu kelas 3 SMA, guru saya menugaskan review novel untuk di terjemahkan dlm bhs Inggris. Dlm tgs itu, saya mereview novel mba Asma yg jdulnya Istana Kedua. Komentar guru saya, novel itu bagus, menyayat hati.
    Selepas itu, agustus kemarin ada workshop film 'Emak Ingin Naik Haji' yg di adakan di TIM. Saya dtg dan dpt kartu nama mba Asma.
    Nah, sekarang tugas kuliah saya, membuat feature video mengangkat profil mba Asma. OMG! what a wonderful life guys?!
    Menyorot profil penulis favorit sendiri?! gak nyangka :)
    thanks God! semua yg dilakukan insyallah ada hikmahnya.

    ReplyDelete
  10. mantap sekali apa yang dikemukakan di atas. inspirasi dan motivasi sering mampir ditelinga dan mata ini. tapi bagaimna cara agar selalu konsisten dengan impian dan cita2 kita yang telah kita bangun itu ya. sebab sering kali kita terlalu enak bermimpi sehingga dunia nyata menjadi terlupakan. atau sebaliknya, karena terlalu sibuk dengan dunia nyata ini (pekerjaan maksudnya), mimpi2 kita kadang tidak terurus.

    ReplyDelete


EmoticonEmoticon