Susahnya Jadi Polisi Jujur. Cuma Menunda Panggilan Saja, Bisa Dibayar 1,9 Miliar

Susahnya Jadi Polisi Jujur. Cuma Menunda Panggilan Saja, Bisa Dibayar 1,9 Miliar

Kita harus angkat topi buat para polisi jujur, karena di depan mereka godaan uang miliaran sangat mudah didapat. Orang jujur dan tidak korupsi karena tidak ada kesempatan itu biasa, tapi kalau ada peluang besar mereka tetap jujur, itu baru luar biasa.

Bahkan sekadar menunda panggilan saja pada tersangka, polisi bisa disogok sampai Rp 1,9 miliar rupiah. Benar-benar menggoda.

Informasi ini diangkat oleh berita Republika Kamis 19 Juni 2017.
Kutipan singkatnya,"...Harris Arthur Hedar sebagai pengacara untuk Jawa Pos Group diduga menyuap (AKBP) Brotoseno dengan nilai Rp 1,9 miliar. Uang yang diberikan secara bertahap ini dimaksudkan agar Brotoseno menunda panggilan pemeriksaan ..."

Berita lengkapnya silakan lihat di klipping ini:



Vonis Brotoseno Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa
Umar Mukhtar

JAKARTA -- Majelis hakim sidang Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis lebih ringan dari tuntutan jaksa terhadap terdakwa kasus suap penyidikan dugaan tindak pidana korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat, yakni AKBP Raden Brotoseno.
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Brotoseno selaku Kepala Unit III Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri dengan tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan.
Namun, majelis hakim yang dipimpin Baslin Sinaga menjatuhkan vonis lima tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider pidana kurungan tiga bulan terhadap mantan penyidik KPK itu.
"Menyatakan bahwa Brotoseno telah terbukti secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata Ketua Majelis Hakim Baslin Sinaga saat membacakan amar putusan di persidangan PN Tipikor Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (14/6).
Hakim Baslin dalam pembacaan amar putusannya mengatakan hal yang memberatkan terdakwa di antaranya adalah tidak mendukung program pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi.
Sedangkan yang meringankan yaitu terdakwa bersikap baik dalam persidangan, belum pernah menjalani hukuman pidana, dan mempunyai tanggungan keluarga serta tidak menikmati uang yang dikorupsi.
Dikatakan tidak menikmati uang korupsi karena majelis hakim mempertimbangkan adanya pengembalian uang senilai Rp 1,75 miliar yang diterima Brotoseno kepada tim profesi dan pengamanan (propam) dan tim profesi dan pengamanan internal (propaminal).
Sementara sisa dari total uang suap yang diterimanya sebesar Rp 1,9 miliar, yaitu Rp 150 juta, telah diberikan kepada Dedy Setiawan Yunus selaku penyidik pada Dittipikor Bareskrim Polri.
"Majelis hakim tidak hanya mempertimbangkan apa yang timbul dalam masyarakat dari perbuatan terdakwa, tapi juga perbuatan terdakwa yang telah mengembalikan uang seluruh uang yang diterimanya sebesar Rp 1,750 miliar kepada tim propaminal dan propam," kata hakim Baslin.
Dalam dakwaan, Brotoseno disebut menerima hadiah atau janji dalam penyidikan dugaan tindak pidana korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat. Pada kasus korupsi cetak sawah itu, mantan menteri BUMN sekaligus pemilik Jawa Pos Group Dahlan Iskan semestinya ikut diperiksa.
Namun, Harris Arthur Hedar sebagai pengacara untuk Jawa Pos Group diduga menyuap Brotoseno dengan nilai Rp 1,9 miliar. Uang yang diberikan secara bertahap ini dimaksudkan agar Brotoseno menunda panggilan pemeriksaan terhadap Dahlan Iskan. Selain uang tersebut, Brotoseno juga diduga menerima lima tiket pesawat Batik Air kelas bisnis yang total nilainya Rp 10 juta.
Dalam amar putusan itu, majelis hakim menggunakan dakwaan pertama yakni pasal 12 huruf a UU 31/1999 tentang pemberantasan tipikor sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa dari KPK dan pihak kuasa hukum Brotoseno menyatakan pikir-pikir atas putusan yang disampaikan majelis hakim. Proses ini akan berlangsung hingga sepekan mendatang.
Jaksa KPK Fauzy Marasadessy menuturkan putusan majelis hakim akan dipertimbangkan dengan melihat kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dan aspek sosiologisnya.
"Kan ada parameter berupa tuntutan dengan kerugian yang ditemukan, kemudian secara sosiologi penerimaannya, nah itu kami pertimbangkan semuanya dalam masa pikir-pikir ini," ujarnya.
Fauzy juga mengatakan semua pertimbangan dari JPU sebetulnya sudah digunakan oleh majelis hakim dalam menentukan putusan. Namun, yang masih menjadi persoalan yaitu besaran vonis yang dijatuhkan.
"Sepertinya semua pertimbangan JPU diambil semua oleh hakim. Hanya ini menyangkut besaran tuntutan saja," katanya.
Brotoseno dijatuhi vonis hukuman bersama dengan tiga rekanan lain yang terlibat dalam kasusnya. Dedy, sama seperti Brotoseno, divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan.
Sedangkan Harris Arthur Hedar selaku pengacara dari Jawa Pos Group, dan Lexy Mailowa Budiman, masing-masing divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan.

Parenting -Home Safety: Menjaga sikap untuk keselamatan anak
Parenting -Home Safety: Menjaga sikap untuk keselamatan anak
Isa Alamsyah

Sebuah berita pembunuhan sadis di Binjai membuat saya merasa harus menulis artikel ini.
Untuk yang belum tahu, mungkin saya akan sedikit mengulas kembali.

Baru-baru ini marak diberitakan tentang 4 korban pembunuhan dalam sebuah rumah di Binjai.
Korbannya adalah Engky alias Atu (65 tahun) meninggal di kamar belakang, serta menantunya Ceny alias Ain (27) serta dua anaknya bernama Kefin (5) dan Keren (3), meninggal di ruang depan. Mereka ditemukan tewas bersimbah darah.
Kematian mereka pun diketahui setelah beberapa hari terbunuh karena ada tetangga yang curiga mereka tidak pernah kelihatan keluar rumah, sehingga jasad ditemukan dalam keadaan mulai membusuk.

Awalnya polisi menduga ini adalah balas dendam (karena kejam) atau tindakan dari orang yang mereka kenal karena tidak ditemukan adanya buka paksa pintu.
Akan tetapi setelah pembunuhnya tertangkap, ternyata motif pembunuhan sangatlah sederhana. Panik.

Ya, setelah diusut ternyata pembunuhan terjadi karena ada pencuri yang kepergok ketika berniat melakukan aksinya. Kabarnya, sang ibu berteriak maling. Lalu sang pencuri panik (sepertinya pintu masih dalam keadaan tidak terkunci) lalu masuk dan membunuh ibu dan kedua anaknya yang sedang berada di ruang tamu untuk menghilangkan saksi.
Lalu karena ada kakek di ruang belakang ia juga dibunuh untuk memastikan tidak ada saksi.
Setelah itu ia mencuri.
Tahukah Anda apa yang dicuri?
Dua pompa air dan telepon genggam.
Bayangkan 4 nyawa melayang hanya untuk barang curian yang nilainya tidak seberapa.

Lalu apa yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini.
Langkah menghindari kriminalistas terutama terhadap anak-anak.

Pertama, di luar sana ada yang namanya penjahat.
Jadi jangan pernah merasa bahwa kita pasti aman dari kejahatan, kemungkinan selalu ada.
Jadi kita harus meminimalisir segala kemungkinannya.

Kedua, yang namanya tindakan sadis tidak perlu dilakukan oleh penjahat kaliber.
Remaja yang panik, mantan karyawan yang kecewa, mantan pacar yang merasa dipermalukan, sahabat yang dikecewakan, bisa tiba-tiba bertindak sadis, terutama ketika panik atau sangat sakit hati.
Peristiwa binjai terjadi karena panik, dan justru biasanya penjahat amatir yang panikan.
Jadi berhati-hatilah jika tindakan kita berdampak menyakiti hati orang.
Hanya butuh beberapa detik untuk mengubah orang baik menjadi sadis.
Karena hati mudah berbalik.

Ketiga, anak-anak atau seseorang yang sangat bernilai bagi Anda, bagi orang lain apalagi bagi penjahat bisa tidak ada nilainya. Karena itu harus Anda yang menjaganya sepenuh hati, sebaik mungkin.
Anak yang sangat Anda cintai dengan segala apa yang Anda miliki, mungkin bagi penjahat hanya bernilai sebuah handphone atau beberapa ratus ribu.
Pada peristiwa di Binjai, sang ayah tidak di tempat karena sedang mencari nafkah membanting tulang jauh-jauh ke Kamboja untuk anak dan istrinya, tetapi dengan darah dingin keluarganya dibunuh penjahat hanya untuk pompa air dan handphone.
Sering kita dengar peristiwa anak kaya raya diculik dan dijual murah dalam human trafficking hanya karena penculik tidak mau beresiko meminta uang tebusan sekalipun mahal dan memilih menjual murah ke pedagang anak.

Keempat, kadang tanpa sadar orang tua, tanpa sadar, justru menjadi pemicu peristiwa yang mengakibatkan anak menjadi korban.
Akan saya ungkap satu contoh yang juga memilukan dari berita yang saya dengar beberapa tahun lalu.
Ada anak yang mengalami kerusakan otak parah akibat dipukuli preman. Usianya baru 7 tahun. Akibat pukulan preman tersebut anak itu cacat mental seumur hidup.
Tahukah kenapa anak itu dipukuli preman?
Ternyata peristiwa itu dipicu karena ayah dari anak tersebut pernah menegur sang preman karena mabuk di dalam mesjid.
Mungkin karena teguran itu kasar atau karena memang premannya brengsek, tapi tetap saja ini tidak mengubah fakta bahwa anak tersebut menjadi cacat akibat peneguran tersebut.
Sekalipun preman itu dihukum, itu tidak mengembalikan kesehatan anak.
Jadi sebagai orang tua kita harus berpikir berulang kali ketika bertindak.
Apakah ini akan membahayakan keselamatan anak atau aman-aman saja.

Saya pernah naik angkot bersama Putri Salsa yang waktu itu baru usia 6 tahunan.
Sang supir ngebut, sembrono dan ngerem mendadak.
Akibatnya satu ibu yang duduk di dekat pintu terlempar keluar. Untung ibu itu baik-baik saja.
Si supir bukannya minta maaf malah memarahi sang ibu yang dianggap tidak siaga.
"Gimana sih naik mobil, makanya pegangan!" dan diikuti kata kasar lainnya.
Saya bilang ke Salsa:
"Caca (panggilan Salsa waktu kecil), kalau ayah tidak lagi sama Caca, mungkin ini supir udah ayah tonjok!"
Salsa bertanya; "Kenapa?"
"Pertama dia ugal-ugalan, dan bukannya minta maaf tapi malah sumpah serapah ke ibu yang jatuh keluar dari mobil"
Lalu Salsa bertanya lagi; "Kenapa kalau ada Caca, ayah gak pukul aja!:
Saya menjawab;
"Kalau ayah sendiri, ayah peringati, kalau dia gak tahu diri mungkin ayah pukul, kalau dia ajak berkelahi ayah hadapi. Tapi kalau nanti banyak supir angkot datang dan kerubutin ayah walaupun dia yang salah, ayah gak mungkin bisa menghadapi kalau sambil jaga Caca.
Kalaupun ayah harus kabur, susah kalau sambil gendong Caca."
Anda boleh setuju atau tidak setuju dengan dialog saya dengan Salsa, tapi itu yang ada di kepala saya saat itu dan saya menahan diri karena saat itu saya memikirkan keselamatan Salsa,
bukan emosi saya saat itu.

Pernah juga saya naik taksi dan argonya argo kuda.
Saya yakin sang sipir main kotor dengan argonya.
Karena tahu akan ribut dengan sang supir sebab saya hanya mau membayar sesuai harga biasa dan mengabaikan argo, saya meminta taksi berhenti di tikungan dekat rumah bukan depan rumah. Kenapa?
Berjaga kalau akhirnya ribut berkepanjangan, sang supir tidak tahu rumah saya, jadi anak-anak terjaga. Untungnya saat itu sang supir malu hati karena ketahuan main curang.

Kalau Anda pesan taksi lewat telepon, dan supir menjemput Anda di rumah, sebaiknya berpikir panjang jika ingin komplain berat. Kenapa?
Bayangkan kalau Anda komplain berat dan sang supir akhirnya dipecat.
Ia punya waktu kosong karena nganggur, ia juga punya masalah keluarga karena tidak punya penghasilan, dan dia cuma ingat itu semua karena Anda yang melapor dan ia tahu rumah Anda.
Kalau sudah dipecat ia sudah tidak lagi terikat peraturan perusahaan dan jadi pribadi yang bebas termasuk menumpahkan dendam kepada yang melaporkan.

Intinya, jika ingin bertindak terutama berkaitan dengan konflik, pikirkan dampaknya bagi keselamatan Anda dan keluarga.
Ingat, kita tidak pernah tahu apa yang ada di hati orang.
Zamannya sudah makin gila.

Kelima:
Preventif maksimal (Pencegahan)
Untuk hal yang bersifat kriminalitas kita harus menerapkan prinsip Prepare for The Worse.
Saya teringat ketika nyambi bekerja di Jakarta Internasional School. Di sana setiap anak masuk mobil jembutan ada absennya, jika ada yang tidak jadi ikut ada juga laporannya. Jadi semua data terdata rapih, jadi sangat sulit ada peluang penculikan.
Itu namaya prapare for the worse.

Anda baru saja memecat supir pribadi yang tertangkap basah misalnya mencuri jam tangan.
Apa yang Anda katakan pada anak Anda yang masih kecil?
"Nak, Pak ini sudah tidak jadi supir kita. Jadi jangan mau ikut kalau dia jemput kamu di sekolah sekalipun dia bilang disuruh ayah atau bunda jemput kamu."
Anda baru memecat pegawai yang dekat tidak jujur dan kebetulan dekat dengan anak-anak.
"Nak, Pak ini sudah tidak bekerja dengan kita, jadi kalau dia ajak kamu kemana, harus konfirmasi dulu ke ayah atau bunda ya..."
Setidaknya Anda sudah berjaga-jaga.

Keenam
Jika Anda mempunyai pembantu, pastikan Anda memberi standar keamanan yang tinggi.
Misalnya;
"Mbak, saya tidak ada janji sama siapa-siapa jadi selama saya pergi jangan buka pintu untuk siapapun!!
"Kalau ada tamu yang datang, telepon saya dulu sebelum buka pintu, jangan pedulikan seberapa sering bel dipencet atau seberapa keras pintu diketuk!"


Ketujuh. Siapkan perangkat dukungan
Catat nomor kantor polisi terdekat. Jangan skeptis dengan service polisi, karena pada beberapa pengalaman, saya menemukan polisi cepat tanggap.
Pastikan punya nomor tetangga, karena pada keadaan genting di rumah ketika Anda di kejauhan, maka hanya tetangga yang bisa memberikan respon secara cepat.
Beri tahu juga nomor-nomor penting tersebut pada pasangan dan anak-anak.

Ya, itulah sedikit uneg-uneg saya tentang parenting dalam kaitannya dengan kejahatan.
Insya Allah akan diungkap lebih banyak dalam buku parenting bertemakan home safety.
Semoga bermanfaat.
Paling kaya paling sibuk, refleksi adab di jalan raya
Kalau Anda mau lihat perilaku orang paling kaya dan paling sibuk,
coba lihat di Jakarta dan sekitarnya.
Saya tidak tahu apakah di kota besar lain seperti Surabaya, Medan, Makasar, Bandung dan lainnya, berperilaku sekaya dan sesibuk orang di Jabodetabek.

Saya sangat takjub ketika melihat ada mobil berhenti di jalan,
karena sang pengendara berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan yang kebetulan dikendarai orang yang dikenalnya.
Sekalipun belakang ada mobil lain, kedua mobil tersebut berhenti sejenak dan kedua pengendara saling ngobrol sebentar.
Ya, itu salah satu perilaku orang yang sangat kaya, karena jalan raya ternyata milik mereka, sehingga mereka bisa berhenti seenaknya dan ngobrol dengan teman lama.

Kalau angkot (angkutan kota) jangan ditanya.
Mereka bisa berhenti di pingggir jalan, tengah jalan, di tikungan, atau di mana saja.
Mereka bebas menunggu penumpang semaunya tanpa peduli kemacetan yang diakibatkannya.
Karena mereka punya mental, jalan ini milik saya.

Ternyata yang punya jalan bukan cuma pengendara mobil.
Saya juga sering melihat anak remaja yang memiliki jalan raya.
Kalau mereka berjalan bertiga, berempat bahkan berlima, mereka berjalan berjajar rata ke samping. Padahal mereka berada di jalan pas untuk dua mobil, tanpa trotoar.
Setengah jalan dipakai mereka berjalan berdampingan sambil ngobrol atau makan es,
atau bersenda gurau.
Mobil terpaksa bergantian masuk jalur kosong, menghindar dari mereka.

Itu sedikit profil orang-orang kaya pemilik jalan raya yang saya sering jumpai.

Ada lagi orang super sibuk di jalan raya, rasanya waktu sedetik saja sangat bermakna.
Mereka sebagian besar diwakili pengendara motor.
Kalau lampu merah menyala, selama masih ada celah kecil, walaupun selisih beberapa detik tetap dimasuki.
Kalau ada macet, mereka masuk sampai tempat yang tidak bisa bergerak, sehingga macet sudah diatasi.
Kalau semua jalan penuh, mereka naik ke trotoar dan membuat pejalan kaki menyingkir.
Kelihatan sangat mengejar waktu.
Pasti mereka orang sibuk! Setidaknya begitulah perilakunya di jalan raya.
Saya tidak tahu pasti sesibuk itukah mereka di tempat kerja?
Tidak ada waktu menunggu, terus bekerja dan mengambil semua peluang yang ada?

Ada lagi penguasa jalan yang ahli hukum.
Kalau sudah mengusai jalur tidak mau mengalah. Sekalipun ada mobil lain yang kesulitan mau berbelok, sang penguasa jalan tidak mau berhenti tetap maju menutupi jalan mobil lain yang mau belok.
Memang yang lurus lebih berhak dari yang mau belok, itu kalau bicara kelaziman.
Tapi tidak selamanya harus diterapkan demikian bukan?
Tapi toh mereka merasa lebih berhak secara hukum.
Huh.

Apakah Anda pernah melihat orang terkaya dan tersibuk di dunia seperti contoh di atas?
Mereka yang mempunyai jalan raya dan mengusai jalan raya.
Atau apakah kita salah satunya?
Pilih hukum atau keadilan?
Hukum dan keadilan terlihat seperti sama, padahal keduanya adalah dua hal yang berbeda.
Sekalipun idealnya hukum dan keadilan adalah satu paket yang tidak terpisahkan,
akan tetapi sayangnya secara teori maupun praktek, hukum dan keadilan tidak selalu berjalan seiring.

Contoh sederhananya bisa kita lihat pada pertandingan bola antara Inggris dan Jerman
pada piala dunia 2010.
Saat itu tim Inggris berhasil duluan memasukkan bola melewati garis gawang lawan.
Ratusan juta pemirsa di seluruh dunia juga melihat jelas bagaimana kamera menangkap gambar bola melewati garis masuk.
Sayangnya bola memantul ke luar dan wasit hanya melihat bola ketika sudah berada di luar.
Hasilnya sang wasit memutuskan tim Inggris dianggap tidak mencetak gol, dan tentu saja tim The Three Lions tersebut emosi dan akhirnya tidak bisa berkonsentrasi.
Akhirnya Inggris dikalahkan Jerman 4-1.
Inggris menyalahkan keputusan wasit tersebut membuat konsentrasi pemainnya pecah dan menjadi kalah telak.
Beberapa minggu kemudian, setelah diusut, FIFA mengakui bahwa sebenarnya bola yang dianggap tidak masuk oleh wasit tersebut, sebenarnya gol, hanya saja keputusan wasit tidak bisa diganggu gugat.


Secara hukum (atau peraturan), apa yang jadi keputusan wasit adalah yang sah sesuai hukum.
Secara keadilan, tidak adil, karena kamera menangkap jelas faktanya bolanya masuk.
Kejadian ini sedikit memberi gambaran tentang hukum yang tidak selalu seiring dengan keadilan.

Karena itu kita bisa melihat orang tidak bersalah bisa masuk penjara jika diputus hakim bersalah,
sebaliknya orang jahat bebas berkeliaran jika diputus hakim tidak bersalah.
Karena memang hukum tidak selamanya seiring dengan keadilan.

Lalu Anda pilih mana, pilih hukum atau keadilan?
Sayangnya kita tidak punya pilihan.
Kita harus patuh hukum, suka atau tidak suka, adil atau tidak adil.
Sekalipun sebagian besar memilih keadilan, tapi sayangnya yang punya power adalah hukum.


Tapi ada berita baiknya.
Sekalipun hukum masih belum sempurna, aturan hukum selalu berusaha mendekati keadilan.
Kabar baik lainnya, sekalipun hukum belum sempurna, ada logika hukum yang bisa kita pahami.
Kalau kita bisa memahami logika hukum maka kita minimal tidak menjadi korban aturan hukum yang tidak kita pahami.
Semakin kita memahami hukum kita semakin bisa mendekati keadilan dalam penerapannya.

Saya akan beri contoh beberapa kasus.
Misalnya ada orang memukul Anda, jika tidak Anda balas dan laporkan ke polisi maka yang memukul akan kena pasal penganiayaan. Tapi kalau Anda balas, maka masuknya ke perkelahian, dan pada posisi itu Anda tidak bisa menuntut hukum.

Contoh lain:
Kalau ada yang memukul Anda, dan Anda membalas dengan memukul balik dengan menggunakan buku, atau dengan melempar handphone, maka Anda jadi yang melanggar hukum. Karena Anda akan kena pasa perkelahian tidak seimbang.
Anda pakai alat sedangkan yang memukul Anda tidak pakai alat.
Sekalipun pukulan orang lain lebih keras daripada balasan Anda dengan buku misalnya, yang menggunakan alat bisa jadi terlihat lebih bersalah.
Karena itu hati hati, sekalipun kita membela diri, ketika kita pakai alat, malah kita yang bisa dijebloskan ke hukum. Ini koteksnya kalau kita konflik dengan teman, tapi kalau melawan kriminal bebas membela diri.
Guru yang melempar murid dengan gagang penghapus, memukul murid dengan penggaris, bisa dituntut dengan pasal ini. Makanya ketika saya nyambi kerja di Jakarta International School, segala macam body contact sangat dilarang (termasuk menegur siswa bule dengan mencentil, mencolek, semua bisa masuk ke pasal penganiayaan sdengan level tertentu).
Senior yang bully ketika di sekolah, bisa juga dijerat dengan pasal penganiayaan kalau sudah ada body contact.
Tapi kalau bully-nya hanya kata-kata, paling bisa dijerat dengan pasal tindakan yang tidak menyenangkan" dan ini pasal karet yang sangat luas penggunaannya.

Kenapa saya menulis artikel ini?
Saya baru saja bertemu dengan seorang anak yatim piatu yang mungkin akan kehilangan rumahnya.
Orang tuanya ditipu untuk menanda tangani sebuah surat kuasa kepemilikan rumah yang ternyata disalahgunakan oleh orang yang diberi amanah.
Dengan manipulasi tertentu, surat rumah itu tiba-tiba berganti nama.
Setelah orangtuanya meninggal anak tersebut akan diusir dari rumahnya sendiri.
Padahal semua orang dekat tahu benar rumah itu belum dijual dan anak itu yang berhak atas rumah tersebut, tapi di atas kertas anak tersebut bisa kalah secara hukum.
JIka bicara keadilan, anak tersebut berhak atas rumahnya, padahal secara hukum nama pemilik sudah berganti nama melalui manipulasi.
Saya tetap memilih keadilan dan berharap semoga hukum berpihak pada sang yatim piatu.
Amin.

Semoga saja kita tidak menjadi korban penyalahgunaan hukum.