Belajar Problem Solving dari masalah Rayap
Ternyata masalah rayap yang kelihatan kecil, hanya beberapa sentimeter gundukan yang terlihat, hanya sedikit gejala dari masalah besar yang tersembunyi.
Isa Alamsyah
"Pak, di lemari buku tengah ada rayap-nya!"
Setidaknya itu informasi singkat yang saya terima dari salah satu staf Asma Nadia Publishing, ketika kita sedang beres-beres kantor.
"OK, nanti saya check. Kamu lihat ada rayap-nya atau cuma sarangnya?" saya coba telusuri sejauh masalahnya lebih jauh.
"Lihat Pak, ada rayapnya!"
SOS...SOS...SOS
Ketika saya dengar informasi ada rayapnya, saya langsung berpikir masalah ini akan besar.
Ya, karena kerabat saya yang berbisnis di bidang furnitur pernah bilang, kalau perkakas kayu ada rayapnya sebaiknya semua bagian dibuang atau akan merambat kemana-mana.
Saat itu juga saya langsung memutuskan untuk melihat.
Setelah saya lihat sekilas, memang terlihat ada gundukan kecil sarang rayap di lemari tengah.
Lalu saya mulai tarik buku-buku yang berjajar di lemari tengah.
Ternyata bagian belakang sudah geroak dimakan rayap dan buku tersebut sebagian besar sudah jadi sarang rayap.
Lalu saya lihat buku di atasnya ternyata bernasib sama.
Saya putuskan lemari buku tengah dibuang dan dibakar termasuk-buku-bukunya.
Lalu saya lihat lemari disebelah kanannya lemari tengah ternyata juga sudah hancur dimakan rayap, padahal dari depan sama sekali tidak kelihatan ada sarang rayap.
Lalu saya lihat lemari sebelah kirinya, ternyata juga jadi korban.
Hasil serangan rayap tersebut 3 lemari buku dibuang dan dibakar, ratusan buku juga terpaksa dibuang dan dibakar.
Padahal lemari tersebut baru 3 bulan lalu dibereskan.
Ternyata masalah rayap yang kelihatan kecil, hanya beberapa sentimeter gundukan yang terlihat, hanya sedikit gejala dari masalah besar yang tersembunyi.
Dari kejadian ini saya pun belajar tentang kehidupan.
Sebenarnya sebagian besar masalah yang kita hadapi hanya sebagian kecil dari sebuah masalah yang lebih besar.
Masalah di depan mata mungkin hanya gejala, bukan penyakitnya.
Kalau kita tidak menemukan masalah besarnya (penyakitnya) maka kita akan terjebak masalah tersebut selama-lamanya.
Masalah yang kita lihat di depan mata mungkin lebih besar dari yang kita kira.
Dalam kehidupan sosial misalnya.
Kita bertemu dengan pejabat yang korup.
Secara sederhana kelihatannya, korupsi terjadi karena gaji kecil, sehingga jika gaji dinaikkan tidak ada korupsi. Ternyata pejabat bergaji besar juga terlibat korupsi.
Artinya, korupsi adalah gejala yang sudah merambat ke mana-mana.
Masalah utamanya bukan sekedar gaji kecil, tapi juga penegakkan hukum, keadilan sosial, keimanan, moral, toleransi, sportivitas, dan banyak hal terkait dengan hal tersebut.
Jadi untuk menyembuhkannya harus ditangani menyeluruh.
Dalam parenting misalnya.
Ada anak yang nilai pelajarannya buruk.
Orangtuanya sudah mengkursuskan anak tersebut dan privat tapi tidak membaik.
Orangtuanya sudah mengkursuskan anak tersebut dan privat tapi tidak membaik.
Ternyata setelah diusut masalahnya anak tersebut sedang terganggu konsentrasi-nya karena sering mendengar keributan orang tua.
Atau ternyata di sekolah ia selalu menjadi korban bully (pelecehan senior).
Jadi masalahanya tidak sekedar anak yang malas tapi ada agenda lebih besar yang dihadapinya.
Kalau kita salah deteksi masalah tidak selesai.
Dalam bisnis juga demikian.
Kita bisa kehilangan klien hanya karena masalah kecil.
Ada kisah perusahaan besar kehilangan klien raksasa hanya karena mempunyai operator telepon yang kasar.
Awalnya perusahaan tersebut mengira sang operator hanya perlu sedikit latihan, perusahaan itu tidak sadar bahwa operator adalah ujung tombak perusahaannya hingga akhirnya kehilangan klien besar.
Mendeteksi masalah dengan tepat, melihat masalah sebagai bagian dari masalah yang lebih besar adalah kunci untuk menyelesaikan masalah secara integral.
Semoga saja kita tidak terbuai melihat ketika masalah kecil, karena sebagian masalah kecil adalah tampilan luar dari masalah besar yang tersembunyi.
Semoga saja kita tidak terbuai melihat ketika masalah kecil, karena sebagian masalah kecil adalah tampilan luar dari masalah besar yang tersembunyi.
M. Zainul Majdi, paling muda paling menonjol
Gubernur NTB, Tokoh Perubahan 2010 Republika
Ketika terpilih sebagai Gubernur NTB di usia 36 tahun pada 2008, M. Zainul Majdi tercatat sebagai gubernur termuda dalam 48 tahun terakhir sejarah Indonesia.
Akan tetapi sekalipun paling muda dibanding gubernur lain, lulusan Univ Al Azhar Kairo ini mengukir prestasi gemilang dalam pemerintahannya.
Dalam dua setengah tahun kepemimpinannya, angka kemiskinan berkurang 2,36% atau rata-rata 1,2% pertahun. Penurunan angka kemiskinan ini lebih tinggi dari angka nasional yang masih di bawah 1%.
"Untuk bisa turun 2% pertahun memang masih berat, tapi kita mengarah ke sana," ujarnya.
Pertumbuhan ekonomi NTB juga meningkat pesat mencapai 11,3% per tahun, hampir dua kali lipat pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 6%.
Selain itu tingkat pengangguran bisa ditekan hingga mencapai 5,6% sedikit lebih rendah dari pengangguran tingkat nasional yang mencapai 6,7%.
Pencapaian ini membuat ia terpilih sebagai tokoh pembaharuan 2010 pilihan Republika.
Sebenarnya apa yang dijalankan oleh gubernur muda ini adalah salah satu bentuk perwujudan No Excuse! dalam pemerintahan.
Sang gubernur tidak menjadikan usia muda sebagai excuse untuk tidak berprestasi. Ia justru menjadikan usia muda sebagai tantangan untuk membuktikan bahwa ia bisa bekerja lebih baik dari yang tua.
(Bahasan excuse "Saya masih terlalu muda" muncul pada buku No excuse 2)
Mubalig muda ini juga tidak menjadikan minimnya pengalaman sebagai excuse untuk gagal.
Sekalipun sebelumnya ia tidak punya pengalaman dalam organisasi politik ketika mulai terjun di Parlemen pada tahun 2004, ia bisa menjalankan amanah dengan baik, bahkan akhirnya berhasil menduduki posisi tertinggi di provinsinya dan menunjukkan prestasi gemilang pada kepemimpinannya.
Pmuda yang sebelumnya menyandang gelar tuan guru bajang ini (guru agama yang muda) juga tidak menjadikan minimnya modal sebagai excuse untuk sukses.
NTB adalah provinsi yang IPM (Indeks Pembangunan Manusia)-nya atau HDI (Human Development Indeks)-nya termasuk papan bawah dibanding provinsi lainnya. NTB termasuk 1 dari 6 provinsi dengan tingkat kemiskinannya mencapai lebih dari 20%. Pada tahun 2008 tingkat kemiskinan mencapai 24% dan berhasil ditekan sampai 21% pada tahun 2010.
Dengan segala kekurangan tersebut sang gubernur tetap berusaha membangun NTB dengan segala potensi yang ada.
Semoga sukses dan menjadi inspirasi bagi penyelenggara pemerintah lainnya.