Reformasi Pendidikan: Menganalisa ulang hukuman
Isa Alamsyah
Disiplin adalah salah satu sikap penting yang harus ditanamkan dalam pendidikan baik di sekolah maupun di rumah.
Hukuman, adalah satu satu unsur penting dalam pendidikan disiplin.Dengan hukuman anak atau siswa akan tahu konsep reward and punishment, sesuatu yang pasti akan dihadapi anak atau siswa di masa depan.
Jadi saya anggap semua setuju bahwa anak dan siswa harus dididik disiplin
dan ada konsep hukuman sebagai konsekwensi.
Sampai di sini tidak ada masalah.
Tapi sayangnya, bentuk hukuman dan gaya disiplin ini yang perlu diperbaiki.
Berikut ini adalah catatan penerapan disiplin dan hukuman yang justru merusak tujuan mulia pendidikan.
Kesalahan pertama: Menghukum dengan memberi kerugian lebih
Ini saya masukkan ke nomor pertama karena masih berlaku hampir di semua sekolah.
Contoh 1: Kalau terlambat lebih dari 30 menit maka dihukum dengan disuruh pulang.
OK, mari kita analisa apakah ini bijak?
Pertama, kita lihat kenapa siswa tidak boleh terlambat.
Karena kalau dia terlambat akan kehilangan pelajaran penting yang diajarkan sebelum dia datang.
Nah kalau sudah kehilangan tiga puluh menit pertama justru dihukum dengan
menghilangkan kesempatan belajar sehari penuh, sama saja dengan menjerumuskan ke kerugian yang lebih parah.
Solusinya? Siswa harus dihukum dengan pulang lebih lambat dari teman-temannya minimal sesuai dengan waktu keterlambatannya, dan diberi aktivitas atau penugasan positif.
Cukup fair bukan?Ini hukuman yang biasanya diberikan di perkantoran.
Setidaknya saya sendiri kalau terlambat masuk kerja
saya akan menghukum diri dengan pulang lebih lambat tanpa lembur.
Jangan sampai orang bilang”Ini orang dateng belakanagan tapi asal pulang duluan terus!”
Contoh 2: Skorsing
Skorsing adalah bentuk hukuman karena suatu kesalahan anak tidak boleh masuk sekolah beberapa hari.
Kasus ini sama seperti kasus pertama, menghukum dengan membuat anak kehilangan kesempatan belajar.
Logikanya, justru ketika anak melakukan kesalahan mereka butuh perhatian lebih karena itu harus lebih lama di sekolah dan dibimbing lebih banyak.
Solusinya? Setelah pulang sekolah diberi tugas tambahan yang membuat mereka sadar kesalahannya dan memperbaiki diri (silakan disesuaikan dengan situasi kondisi setempat).
Kesalahan kedua: Menghukum kesalahan bidang A dengan konsekwensi bidang B
Seringkali kita menghukum anak didik dengan hukuman yang tidak berkaitan dengan kesalahannya.
Contoh 1: Misalnya ada anak hiperaktif, lalu main bola menendang bola asal-asalan akibatnya kaca pecah dan melukai siswa lain.
Padahal di sekolah ada peraturan tidak boleh main bola dengan bola blatter hanya bola plastik.Akhirnya anak tersebut dihukum dengan skorsing 1 hari.Fair tidak? tentu saja tidak.
Karena kesalahan dia tidak berkaitan dengan akademis.
Solusinya? Harusnya si anak dihukum dengan denda untuk mengganti kaca yang pecah, bahkan harus membiayai biaya dokter temannya. Itu fair. Kalau dia tidak mampu? Hukum anak tersebut dengan misalnya tugas berjualan (di kantin) dan keuntungannya atau gajinya untuk membayar biaya yang sakit.
Terlihat aneh tapi edukatif (Silakan cocokkan sendiri dengan keadaan di tempat masing-masing).
Contoh lain: Anak berkelahi di skorsing, anak tak berseragam di setrap tidak ikut pelajaran, dll.
Kesalahan ketiga: Menghukum kesalahan dengan hukuman fisik
Sekalipun hukuman fisik sudah jarang ada, di daerah tertentu masih ada yang memberlakukannya.
Hukuman fisik merupakan bentuk pelecehan atas intelektual manusia.
Di negara maju, terutama di Amerika, sekali saja ada hukuman yang bersifat fisik, menampar, memukul, menjuleg, pokoknya ada “Body Contact” maka bisa masuk katagori kriminal dan bisa dilaporkan ke polisi.
Di Indonesia juga pernah ada kasus demikian.
Di rumah sekalipun hukum fisik tidak dibenarkan.
Jadi jangan pernah menganggap kita punya hak memukul sekalipun terhadap anak atau istri sekalipun.
Kesalahan keempat: Menghukum kesalahan dengan kata-kata yang melemahkan
Kadang ketika kita melihat anak melakukan pelanggaran kita memperingati dengan keras. tentu saja ini sah,
tapi harus dipilih kata yang tepat.
Marah dengan kata-kata terbagi tiga:Pertama marah murka: marah yang memang ditujukan untuk menyakiti orang yang kita ajak bicara. Bentuknya hinaan, caci maki.
Kedua marah luapan emosi: Marah yang ini sebenarnya hanya luapan emosi dari kita, dan si obyek yang kena marah hanya jadi korbannya. Jadi tujuan sebenarnya bukan menyakiti lawan bicara, walaupun karena tidak terkontrol sering menyakitkan juga.Ketiga marah sayang atau marah untuk kebaikan: Sekalipun diucapkan keras tujuannya untuk menyelamatkan orang yang kita ajak bicara. Marah seperti ini sekalipun disampaikan dengan keras tapi kata-katanya terpilih, tidak ada hinaan atau kata-kata yang bersifat merendahkan. Dalam beberapa kasus marah sayang tetap dibutuhkan, jika cara halus tidak berhasil.
Tapi sayangnya, kadang kala orang tua dan guru karena satu dan lain hal, sekalipun ingin menyampaikan marah sayang, tapi karena emosi, yang keluar dari mulutnya justru marah luapan emosi atau menjadi caci maki.
Daripada begini mendingan diam.
“Orang kuat adalah orang yang bisa menahan marah ketika emosi” kurang lebih begitulah sabda Rasul Saw.
Demikian sedikit ulasan tentang hukuman dalam pendidikan.
Kalau ada masukan silahkan kasih komen ya.
Sedikit trik agar kita tidak terjerumus dalam hukuman yang salah, ada yang perlu diingat sebelum menghukum:1. Kenapa peraturan itu dibuat?
2. Apa tujuan peraturan itu?3. Apakah hukuman justru memperbaiki atau merusak?
4. Jangan ragu merevisi hukuman kalau evaluasi kita menganggap putusan kita salah, dan jangan malu untuk minta maaf.
Jadi berhati-hatilah dalam memberi keputusan, karena ternyata dalam berbahgai level kita seringkali bertanggug jawab sebagai hakim, pengacara dan jaksa sekaligus dalam satu waktu bersamaan.
Pada akhirnya kita harus bertanggung jawab kepada Sang Pencipta atas keputusan kita.
0 Comments
Post a Comment