Belajar Kehidupan dari Final AFF 2010

Isa Alamsyah

Sekalipun sejatinya penyelenggaraan Final AFF adalah final sepak bola,

tapi ternyata banyak pelajaran kehidupan yang bisa diambil dari event besar level Asia Tenggara ini.

Saya merefleksikannya dari dua tempat nonton bareng yang saya ikuti.

Kebetulan babak pertama nonton di teater Daun Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Indonesia, karena habis nonton Acapella Gradasi tampil di sana, dan babak kedua pindah nonbar ke mal daerah Depok karena ada janji nonbar juga dengan yang lain.

Pelajaran Pertama: Kepentingan pribadi atau bangsa

Ada peristiwa menarik yang saya lihat ketika gawang Indonesia kebobolan.

Bayangkan saja, selama puluhan menit belasan kali Indonesia mencoba membobol gawang dan tidak masuk-masuk,

ternyata Malaysia melakukan serangan balasan dan menjebol gawang Indonesia.

Tentu saja sontak penonton Indonesia lemas, kaget dan berteriak.

Tapi di antara penonton saya melihat ada yang bergembira dan mengatakan "YES"

Dia sangat senang melihat gawang Indonesia kebobolan, sampai saya bertanya dalam hati, ini orang Malaysia apa?Lalu saya mendekat hendak tahu, kenapa orang ini bergembira ketika Indonesia kebobolan.

Dari mulutnya tanpa sengaja saya dengar kalimat:

"Wah gue menang taruhan Rp 200.000, dari awal gue tahu Malaysia bakal menang," katanya tersenyum bahagia.

Gila!, di saat begitu banyak anak bangsa yang mendukung rekan sebangsa berjuang di lapangan hijau,

ternyata ada orang macam begini. Hanya demi uang Rp 200.000 dia rela mengkhianati spirit perjuangan, kebersamaan dan penghargaan atas kerja keras timnas kita.

Tapi saat itu juga saya jadi ingat, bahwa ini adalah masalah bangsa kita sejak lama.

Kenapa korupsi meraja lela? Ya alasan sama, kepentingan pribadi di atas kepentingan umum.

Demi uang Rp 1 miliyar masuk ke kantong pribadi, banyak oknum yang rela menjual aset triliunan bangsa ke pihak lain.

Toh yang rugi bukan dia.

Bahkan dalam politik adu domba dan memecah bela sejak era penjajahan, Belanda berhasil bercokol lama, karena di masa lalu banyak pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kekuasaan yang dijamin Belanda, daripada kepentingan rakyat.

Tugas kita, mempersedikit oknum seperti ini, dan jangan percaya oknum seperti ini untuk memegang amanah.

Jadi pilihlah wakilmu dengan bijaksana.

Pelajaran Kedua: Mudahnya Menilai dan Menghakimi

Ketika pinalti gagal, ketika ada bola yang terlepas, ketika ada operan yang meleset, tidak jarang kita mendengar umpatan:"Bego!"..."Tolol..." Gimana sih, "oper ke sana dong..."

Padahal orang yang berteriak seperti itu bisa main bola pun belum tentu.

Tapi dengan mudah menghakimi pemain timnas yang sudah dengan susah payah dan full energi berjuang.

Itu suara yang saya dengar ketika menonton di mal (itupun hanya segelintir orang saja saja).

Dalam kehidupan bangsa kita saat ini juga seperti itu.Kadang kita sumpah serapah ke politisi atau pemimpin tapi kita juga tidak mau memberikan kontribusi.

Kita memilih calon anggota parleman tanpa mempertimbangkan dengan matang siapa yang kita pilih.

Kadang dengan mudah kita bilang semua poilitsi busuk akhirnya kita tidak bisa melihat ada segelintir orang baik yang harusnya dipilih. Akibatnya pilih sembarangan atau tidak memilih sama sekali.

Ada orang tua bilang guru ini tidak becus mengajar, sekolah ini tidak becus mendidik padahal di rumah ia tidak mengajar anak-anaknya dengan baik.

Memang lebih mudah menilai daripada melakukannya.

Pelajaran Ketiga: Memahami jati diri

Dari dua tempat berbeda saya menemukan dua karakter supporter yang berbeda.

Di satu tempat (kebetulan saat itu nonton di Kafe Daun Fakultas Ilmu Budaya UI), saya melihat suporter yang membela Indonesia mati-matian tapi tidak keluar sumpah serapah ketika timnas melakukan kesalahan, di tempat lain (di salah satu mal) saya menemukan suporter yang juga membela Indonesia mati-matian tapi sumpah serapah terucap ketika timnas melakukan kesalahan.

Dari situ saya bisa melihat jenis suporter Indonesia yang sedikit banyaknya juga mewakili tipikal bangsa Indonesia.

Ternyata suporter kita terbagi dua supporter emosional VS supporter intelektual atau bisa disebut supporter karbitan VS suporter matang.

Supporter emosional atau karbitan hanya mau melihat seperti apa yang diinginkan dan melihat hasil seperti yang diinginkan secara instan. Karena itu tidak jarang supporter ini menghardik tim yang didukung jika tidak memuaskan, bahkan tak jarang karena marah mereka meluapkan emosinya dengan anarkis.

Untung saja di final AFF 2010 ini tidak terjadi peristiwa anarkis yang parah, sekalipun Indonesia tidak berhasil menjuarainya.

Cara mendukung yang brutal seringkali justru menodai tim yang didukungnya.

Tapi di masa lalu sering tak jarang kita lihat supporter justru merusak stadionnya sendiri.

Supporter jenis ini pula yang rela mencurangi tim lawan agar timnya menang.

Supporter seperti ini tidak menjadikan tim yang didukung sebagai bagian integral dalam dirinya, sehingga mereka hanya bersama ketika suka dan meninggalkan mereka ketika duka.

Supporter matang atau intelaktual, menjadikan tim yang didukung sebagai bagian dirinya.

Mereka tetap mendukung dalam suka dan duka. Kalau kalah mereka kecewa tapi mereka juga sadar anggota timnas juga tidak mau kalah. Mereka bisa menerima kekalahan dengan sportif. Apalagi kalau tim yang didukung sudah menunjukkan usaha terbaik. Mereka tahu kapan harus berbicara dan bagaimana menyampaikannya.

Alhamdulillah sekarang lebih bayak supporter jenis ini di Indonesia. Setidaknya di AFF 2010 ini.

Kita bisa lihat status dan keomentar mereka di facebook atau twirtter, dan juga di pemberitaan.

Kami tetap bangga!Bagiku kami tetap menang,

Kalian tetap pemenang di hatiku!Dan status sejenis.

Kalau saja bangsa kita bisa tetap bekerja sama sebagai satu tim untuk kemajuan bangsa, bukan saja di sepak bola, kita akan jadi bangsa besar di bidang apapun.

Pelajaran Keempat: Pentingnya Antisipasi

Dulu sering kita dengar istilah "Kalau udah kejadian baru bertindak"Alhamdulillah kali ini aparat lebih siaga dalam mengantisipasi.

Jumlah aparat, panser, semua disiapkan.

Ini langkah bagus. Hope for the best prepare for the worst.

Kita menyadari bagaimanapun emosi supporter sangat membara ketika kita dikalahkan di Malaysia.

Apalagi kekalahannya itu diwarnai oleh keyakinan adanya kecurangan dalam proses.

Karena itu tindakan antisipasi maksimal menjadi sangat penting.

Dan langkah antispasi ini juga salah satu kunci sukses penyelenggaraan final yang aman.

Karena langkah antisipasi ini juga membuat orang yang berniat buruk jadi berhati hati.

Semoga saja ini menjadi pelajaran berharga bukan saja di final AFF tapi dalam kehidupan bangsa selanjutnya.

Sehingga tidak terjadi seperti apa yang pernah terjadi sebelumnya, seperti:

Situgintung bendungannya sudah retak tidak diantisipasi jadi banjir bandang.

Ilegal logging tidak diantisipasi jadi erosi dan tanah longsor, dll.

Pelajaran Kelima: Pentingnya Memanfaatkan Momentum

Kali ini saya akan bahas dari sudut pandang bisnis dan kehidupan.

Ada perbedaan mencolok ketika saya menonton bareng di mal.

Di tempat saya nonton bareng, fastfood restoran berinitial KF, ada ratusan orang berkumpul hitungan kasar sekitar 200 s.d. 300-an orang.

Hanya 30 meter dari situ, ada fastfood MD yang kosong melompong. Hanya 1 pengunjung.

Kenapa? Karena di sana tidak ada TV.Apa artinya?Restoran MD itu tidak memanfaat kan momentum jadi sepi, sedangkan restoran satunya lagi memanfaatkan momentum dengan menyediakan TV besar.

Padahal modal televisi tersebut hanya dalam satu malam sudah bisa balik modal.

Banyak juga yang berhasil memanfaatkan momentum dengan jual kaos timnas.

Orang sukses adalah orang yang pandai mengambil momentum.

Kejuaraan FFA ini adalah momentum yang bagus untuk meningkatkan rasa kebangsaan.

Dalam kehidupan keluarga, kalau ada fim bagus untuk anak di bioskop jadikan momentum untuk acara keluarga

lalu kita bisa diskiusi isi film tersebut dengan anak-anak.

Kalau ada acara TV bagus jadikan momentum untuk nonton bersama jadi ada edukasinya.

Itulah sedikit catatan yang muncul dibenak saka setelah menyaksikan final AFF 2010

Semoga bermanfaat.

0 Comments

Post a Comment